Al-hamdulillah,
segala puji bagi-Nya. Dialah yang telah memperjalankan waktu dan bersumpah
dengannya. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk hamba dan utusan-Nya,
Muhammad bin Abdillah yang menjadi teladan dalam memanfaatkan waktu dan
mengisinya. Tidak ada satu amalan yang menghantarkan ke surga dari urusan
ibadah kecuali sudah dia ajarkan dan perintahkan. Tidak pula ada satu amalan
yang menghantarkan ke neraka kecuali sudah dia terangkan, peringatkan dan
melarangnya. Semoga shalawat dan salam juga dilimpahkan juga kepada keluarga
dan para sahabat beliau.
Sesungguhnya
sifat dari ibadah adalah tauqifiyyah, tidak diketahui kecuali berdasarkan
wahyu. Tidak boleh menetapkan bentuk ibadah kecuali sang pemilik Syariah, yaitu
Allah 'Azza wa Jalla. Karenanya seseorang tidak boleh beribadah kepada
Allah Ta’ala kecuali apabila ibadah tersebut telah ditetapkan dalam nash-nash
syar’i (al-Qur’an dan sunnah) bahwa itu adalah ibadah yang telah disyariatkan
Allah Ta’ala. Maka tidak ada ibadah kecuali dengan dalil syar’i yang
menunjukkan perintah ibadah tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah:
3). Sungguh Allah telah menyempurnakan ajaran agama ini untuk kita. Maka setiap
ajaran yang tidak Allah syariatkan bukan bagian dari syariat dien (agama) ini.
Dari
Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
bersabda,
مَا
بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ ، إِلا
وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak
ada sesuatu yang bisa mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka
kecuali sudah dijelaskan untuk kalian.” (HR. al-Thabrani dalam al-Kabir no.
1647 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam al-Shahihah no. 1803) Maka
persoalan yang tidak pernah dijelaskan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam
tentang ibadah yang bisa menghantarkan orang ke surga dan menjauhkannya dari
neraka bukan bagian dari dien (agama) Islam.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah berkata, “Dengan meneliti dasar-dasar
syariat kita mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang telah Allah wajibkan dan Dia
cintai tidak diperintahkan kecuali dengan syariat. Sedangkan adat adalah
persoalan yang biasa dikerjakan orang tentang urusan dunia yang mereka
butuhkan, maka hukum dasarnya tidak dilarang. Tidak boleh dilarang kecuali apa
yang Alah dan Rasul-Nya larang. Hal itu, karena perintah dan larangan adalah
syariat Allah Ta’ala. Ibadah haruslah ada perintahnya, sehingga apa yang tidak
ditetapkan sebagai perintah, maka tidak bisa disebut ibadah. Dan apa saja dari
persoalan adat yang tidak ada larangannya, maka tidak boleh dilarang.
Karena
itulah Imam Ahamd dan lainnya dari kalangan ulama hadits berkata, ‘Sesungguhnya
prinsip dasar dalam ibadah adalah tauqif, tidak disyaiatkan kecuali apa yang
Allah Ta’ala syariatkan, jika tidak demikian maka kita termasuk dalam firman
Allah, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS.
Al-Syuura: 21). . . “ (Majmu’ Fatawa: 29/16-17)
Syaikh
Muhammad bin Ibrahim rahimahullaah berkata, “Semua ibadah adalah
tauqifiyah. Maka apa saja yang Allah dan Rasul-Nya syariatkan secara umum, dia
diperintahkan juga secara umum. Dan apa saja yang disyariatkan dengan
ditetapkan pada waktu dan tempat tertentu maka kita menetapkan waktu dan
mengikatkan (membatasinya) dengan tempat dan waktu.” (Fatawa wa al-Rasail
Muhammad bin Ibrahim: 6/75)
Para
ulama di Lajnah Daimah dalam fatwanya mengatakan, “Semua ibadah dibangun di
atas tauqif. (Artinya) tidak boleh dikatakan ini adalah ibadah secara dasarnya,
jumlahnya, bentuk palaksanaannya, atau tempatnya kecuali dengan dalil syar’i
yang menunjukkan atas hal itu.” (Fatawa Lajnah daimah: 3/73)
Syaikh
Ibnu Utsaimin berkata, “Dasar pokok dalam urusan ibadah adalah dilarang. Maka
seseorang tidak boleh beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak Dia
perintahkan, baik dalam kitab-nya ataupun dalam sunanh Rasul-Nya shallallaahu
'alaihi wasallam. Jika seseorang ragu dalam satu amalan, apakah dia
termasuk ibadah atau bukan, maka hukum dasarnya dia bukan ibadah sehingga ada
dalil yang menunjukkan itu ibadah.” (Fatawa Nuur ‘ala darb: 1/169)
Doa Khusus Di Akhir dan Awal Tahun
Salah
satu amalan ibadah yang sangat masyhur di masyarakat dalam menyambut tahun baru
hijriyah adalah bacaan doa berjamaah pada setiap akhir dan awal tahun Hijriah.
Doa akhir tahun dibaca sesudah shalat ‘Ashar, sedangkan awal tahunnya dibaca
sesudah shalat maghrib.
Sesungguhnya
doa termasuk amal ibadah yang sangat mulia. Bahkan termasuk inti dari ibadah. “Sesungguhnya
doa adalah ibadah.” (HR. Ahlus Sunan kecuali al-Tirmidzi)
“Tidak
ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah daripada doa.” (HR. Ibnu Hibban dan
al-hakim dari Abu Hurairah)
Namun
mengikat ibadah doa dengan bacaan, tatacara dan waktu tertentu, sehabis Ashar
dan ba’da magrib pada akhir dan awal tahun, tidak memiliki dasar perintah
khusus. Maka kita tidak boleh mengikat ibadah doa dengan waktu tersebut karena
Al-Qur’an atau sunnah shahihah tidak ada yang menyebutkan mengenai printahnya secara
umum di akhir dan awal tahun, tentang tatacaranya, jumlahnya, waktu dan
tempatnya.
Memang
ada riwayat yang dijadikan sandaran oleh orang-orang yang meyakini adalah
ibadah yang utama dengan pahala dan keutamaan tertentu. Di antara
berdalil yang dijadikan sandaran adalah beberapa riwayat tentang fadilah
membaca doa tersebut, antara lain sebagai berikut:
“Barangsiapa
membacanya syaitan akan berkata: Kami telah penat letih bersamanya sepanjang
tahun, tetapi dia (pembaca doa berkenaan) merusak amalan kami dalam masa sesaat
(dengan membaca doa tersebut).”
Mengenai
nas hadits tersebut, Jamaluddin Al-Qasimy menerangkan riwayat ini tidak
terdapat dalam kitab-kitab hadits shahih, dan tidak juga di dalam kitab-kitab
hadits maudhu’ (palsu). (Islahul Masajid: 108). Maka nas di atas
tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.
Kenyataannya, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, para shahabat
dan para tabiin tidak pernah mengamalkan doa tersebut.
Ini
telah diakui oleh beberapa ulama seperti Abu Syamah (seorang ulama Syafi’iyah
wafat pada tahun 665H), Muhammad Jamaluddin Al-Qasimiy (Islahul
Masajid:129), Muhammad Abdus Salam As-Shuqairy (As-Sunan wal-Mubtadaa’at:167),
dan DR. Bakr Abu Zaid (Tashihhud Doa:108), yang menegaskan bahwa “Doa
awal dan akhir tahun” tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SA, para
shahabat, tabiin, atau tabi’ut tabiin.
Di
dalam hal ini kita haruslah berhati-hati, karena seseorang yang telah
mengetahui bahwa derajat hadits itu palsu tetapi tetap meriwayatkannya sebagai
hadits, maka ia akan termasuk dalam ancaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam: “Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaknya
ia menempati tampat duduknya di Neraka.” (HR. Bukhari)
Dalam
hadits yang lain pula, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang meriwayatkan dariku sepotong hadits sedangkan dia
tahu bahwa hadits itu palsu, maka dia adalah salah seorang pembohong.” (HR.
Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya: I/62)
Kemudian,
ada sebahagian golongan pula yang berdalih bahwa doa tersebut sebenarnya adalah
sebagian dari amalan para salafus shalih karena fadilah doa tersebut
diterangkan dalam kitab “Majmu’ Syarif”, tetapi bukan di dalam bentuk hadits.
Perkara
ini sangatlah menyesatkan dan berbahaya, karena di antara fadilah doa tersebut
diriwayatkan bahwa akan diampuni dosa-dosanya setahun yang lalu dan konon
syaitan akan berkata: “Kami telah penat letih bersamanya sepanjang tahun,
tetapi dia merusak amalan kami dalam masa sesaat (dengan membaca doa tersebut).”
Ini semua adalah perkara-perkara
gaib yang tidak boleh diimani kecuali daripada sumber wahyu yaitu Al-Qur’an
atau Sunnah. Oleh karena, Al-Qur’an dan Sunnah tidak menyebutkan
fadilah-fadilah tersebut, maka bagaimanakah boleh seseorang mengetahui bahwa
syaitan berkata demikian dan sebagainya dan beriman dengannya?
Kesimpulan:
Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengajarkan doa akhir tahun
atau awal tahun. Yang diajarkan beliau adalah doa awal bulan hijriyah atau ketika melihat hilal. Karenanya merutinkan doa tersebut dengan berharap janji
dalam riwayat-riwayat yang disebutkan di atas tidak dibenarkan.
Kita
tidak boleh menetapkan adanya ibadah doa khusus pada akhir dan awal tahun
kecuali dengan dalil, karena itu termasuk ibadah khusus yang terikat dengan
waktu. Dan ibadah tidak ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i dari Al-Qur’an
dan Sunnah. Wallahu Ta’ala A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar