Senin, 01 Agustus 2011

Pedoman Shalat III


PEDOMAN SHALAT
III. TATA CARA SHALAT

A. PERSIAPAN SHALAT

1. Menghadap Kiblat
66. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila berdiri untuk shalat fardhu atau shalat sunnah, beliau menghadap Ka'bah. Beliau memerintahkan berbuat demikian sebagaimana sabdanya kepada orang yang shalatnya salah: "Bila engkau berdiri untuk shalat, sempurnakanlah wudhu'mu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah." (HR. Bukhari, Muslim dan Siraj).
67. Tentang hal ini telah turun pula firman Allah: "Kemana saja kamu menghadapkan muka, di sana ada wajah Allah." (QS. Al-Baqarah: 115)
68. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat menghadap Baitul Maqdis, hal ini terjadi sebelum turunnya firman Allah: "Kami telah melihat kamu menengadahkan kepalamu ke langit. Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu inginkan. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu ke sebagian arah Masjidil Haram.’
(QS. Al-Baqarah: 144).

2. Berdiri

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat fardhu atau shalat sunnah dengan berdiri. Dan apabila bepergian, beliau melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya.    Beliau   mengajarkan   kepada   umatnya   agar   melakukan  shalat khauf  dengan berjalan kaki atau berkendaraan.
69. "Peliharalah semua shalat (yang wajib) terutama shalat wustha dan berdirilah di hadapan Allah dengan khusuk dan merendahkan diri." (QS. Al-Baqarah: 238).
Mayoritas ulama menafsirkan shalat al-Wustha itu adalah shalat Ashar.
70. Dari 'Imran bin Husain, katanya: "Saya terserang penyakit bawasir. Lalu saya bertanya kepada Rasulullah tentang cara shalat. Maka beliau menjawab: Shalatlah dengan berdiri. Kalau tidak mampu shalatlah dengan duduk. Dan jika tidak mampu juga, shalatlah dengan berbaring." (HR. Al-Bukhari).
Mengenai persoalan kewajiban berdiri ini, para ulama telah sepakat sebagaimana mereka telah sepakat pula tentang merenggangkan telapak kaki ketika berdiri.
Shalat sunnah boleh dilakukan sambil duduk, meskipun sebenarnya dia mampu mengerjakannya dengan berdiri. Hanya saja, pahala orang yang mengerjakan shalat dengan berdiri itu lebih sempurna daripada pahala orang yang mengerjakannya dengan duduk. Ini berdasarkan hadits yang diterima dari 'Abdullah bin 'Umar:
71. "Telah disampaikan berita kepadaku bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Shalat seseorang sambil duduk itu sama nilainya dengan separuh shalat (yang dilakukan dengan berdiri)." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Orang yang tidak mampu berdiri pada shalat fardhu, dibolehkan shalat sesuai dengan kemampuannya. Allah tidak akan membebani diri seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, dan dia tetap akan mendapat pahala penuh tanpa dikurangi sedikitpun. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Musa bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
72. "Apabila seseorang sakit atau dalam perjalanan, maka Allah akan menuliskan pahala amalnya seperti ketika dia mengerjakannya dalam keadaan sehat dan muqim (tidak dalam perjalanan)." (HR. Al-Bukhari).
3. Menghadap Sutrah
Sutrah (pembatas yang berada di depan orang shalat) dalam shalat menjadi keharusan imam dan orang yang shalat sendirian, sekalipun di masjid besar.
73. Pendapat Ibnu Hani' dalam Kitab Masa'il, dari Imam Ahmad. Beliau mengatakan, "Pada suatu hari saya shalat tanpa memasang sutrah di depan saya, padahal saya melakukan shalat di dalam masjid kami, Imam Ahmad melihat kejadian ini, lalu berkata kepada saya, 'Pasanglah sesuatu sebagai sutrahmu!' Kemudian aku memasang orang untuk menjadi sutrah."
74. Syaikh Al-Albani mengatakan, "Kejadian ini merupakan isyarat dari Imam Ahmad   bahwa   orang   yang   shalat   di   masjid   besar  atau  masjid kecil tetap berkewajiban memasang sutrah di depannya."
75. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kamu shalat tanpa menghadap sutrah dan janganlah engkau membiarkan seseorang lewat di hadapan kamu (tanpa engkau cegah). Jika dia terus memaksa lewat di depanmu, bunuhlah dia karena dia ditemani oleh setan." (HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid (baik)).
76. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: "Bila seseorang di antara kamu shalat menghadap sutrah, hendaklah dia mendekati sutrahnya sehingga setan tidak dapat memutus shalatnya." (HR. Abu Dawud, Al Bazzar dan Hakim. Disahkan oleh Hakim, disetujui olah Dzahabi dan Nawawi).
77. Dan hendaklah sutrah itu diletakkan tidak terlalu jauh dari tempat kita berdiri shalat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri shalat dekat sutrah (pembatas) yang jarak antara beliau dengan pembatas di depannya 3 hasta." (HR. Bukhari dan Ahmad).
Adapun   yang   dapat   dijadikan   sutrah  antara  lain : tiang masjid, tombak yang
ditancapkan ke tanah, hewan tunggangan, pelana, tiang setinggi pelana, pohon, tempat tidur, dinding dan lain-lain yang semisalnya, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Niat
Dalam  bukunya  Ighatsatu al - Lafwan, Ibnu Al-Qayyim menyatakan: Niat berarti menyengaja dan bermaksud dengan sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan untuk kepentingan  itu  tempatnya  ada  di  dalam  hati,  tak  ada  sangkut  pautnya  sama sekali dengan lisan.
Maka  setiap  orang  yang  memiliki  keinginan  kuat  untuk  melakukan sesuatu, dia
telah melakukan niat. Niat untuk shalat berarti menyengaja untuk shalat, menghambakan diri kepada Allah Ta'ala semata, serta menguatkannya dalam hati.
Dalam shalat, sebagaimana dengan ibadah lainnya, niat mempunyai kedudukan yang sangat penting. Karena niat inilah yang akan membentuk suatu perbuatan menjadi bernilai ibadah
atau tidak.
78. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung kepada niatnya." (HR. Muttafaq ‘alaih)
Ada  dua pendapat  yang sudah  masyur di tengah  masyarakat  tentang niat, yaitu “niat dengan tidak melafalkannya” (cukup dalam hati) dan “niat dengan melafalkannya”, yaitu  dengan  menyebutkan  nama  shalat,  jumlah raka’at,  menentukan  arah  kiblat  dan kedudukan shalat (membaca ushalli… atau nawaitu an ushallia…)
a) Pendapat Pertama: Tidak Melafalkan Niat Sebelum Takbiratul Ihram
Niat tidak perlu dilafalkan, yang terpenting sudah tergetar di dalam hati, sehingga orang yang akan melaksanakan shalat tidak perlu melafalkan niat sebelum takbiratul ihram, seperti lafal “Ushalli fardhal maghribi tsalasa raka’atin mustaqbilal Qiblati adaan makmuman lillahi ta’ala” dan niat shalat lainnya yang sudah masyur di masyarakat.
79. Dari Aisyah radhiyallahu anha: “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan takbir.” (HR. Muslim)
80. Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata, "Apakah orang shalat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?" Imam Ahmad menjawab, "Tidak." (Masaail al-Imam Ahmad dan Majmuu' al Fataawaa).
81. As-Suyuthi berkata, "Yang termasuk perbuatan bid'ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat shalat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafalkan niat shalat sedikitpun selain hanya lafal takbir."
82. Asy-Syafi'i berkata, "Was-was dalam niat shalat dan dalam thaharah termasuk  kebodohan  terhadap  syariat atau membingungkan akal." (Lihat al-Amr bi al-Itbaa' wa al-Nahy 'an al-Ibtidaa').
83. Menurut Syaikh Ali Mahfudzh, “Diantara bid’ah-bid’ah dalam shalat adalah, melafalkan niat dengan keras.
84. Ibnu Al-Haj dalam kitab Al-Madkal mengatakan, “Baik imam atau makmum, tidak boleh mengeraskan bacaan niat. Mengingat tidak ada satu pun riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah, khulafaur rasyidin atau para sahabat radhiyallahu anhum melafalkannya dengan keras. Jadi mengucapkan niat termasuk bid’ah.”  (Al-Ibda’ fi Madharri Al-Ibtida’)
85. Syaikh bin Baz dalam fatwanya mengatakan, “Melafalkan niat afalah bid’ah dan mengeraskan dalam melafalkannya lebih besar dosanya.” Yang disunnahkan adalah, membaca niat dalam hati, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apapun yang tersembunyi. Dialah Allah, yang berfirman, “Katakanlah, apakah kalian memberitahukan Allah tentang perkara agamamu, sedangkan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi?”
Tidak ditemukan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang sahabat, dan seorang tabi’in pun yang melafalkan niat shalat. Dengan demikian, dapat kita simpulkan berdasarkan fakta ini, bahwa melafalkan niat tidak dianjurkan. Bahwa ini tergolong perbuatan bid’ah yang diada-adakan. Wallahu waliyyut taufiq.
” (Fatawa Islamiyah li Majmu’ah min Al-‘Ulama, I/383)
86. Menurut Ibnu Qudamah, “Niat artinya maksud atau keinginan untuk melakukan sesuatu. Letaknya di dalam hati, tidak ada sangkut pautnya dengan lisan sama sekali. Karena itu tidak pernah didapati dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sahabat-sahabat beliau, satu pun lafal niat. Demikian pula, kami tidak pernah mendengar para sahabat menyebutkannya. Ungkapan-ungkapan yang dibaca saat bersuci atau ketika hendak memulai shalat, dijadikan momentum bagi setan untuk memunculkan was-was bagi yang melakukannya. Dalam kondisi yang demikian, setan mengungkungi, menyiksa dan membuat mereka tenggelam dalam keraguan, benar tidaknya lafal niat yang dibaca. Maka dari itu, kita sering melihat orang susah payah mengulang-ulang lafal niat berkali-kali. Padahal pengucapan niat tidak termasuk dalam bagian shalat, baik rukun maupun syaratnya.
87. Menurut Ibnu Qayyim, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak menunaikan shalat, beliau membaca takbir (Allahu Akbar), dengan tidak mengucapkan sepatah kata pun sebelum takbir dan tidak pula melafalkan niat…
Tidak ada satu pun riwayat hadits, baik yang shahih maupun yang dhaif, yang musnad maupun yang mursal bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melafalkan niat dalam shalatnya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat dan tabi’in pun yang melafalkan niat shalat dalam shalat mereka. Begitu pula imam yang empat. Hanya saja, ada beberapa pengikut madzhab Syafi’i yang tergolong kelompok yang kesekian / muta’akhirin, terkecoh oleh ucapan Imam Asy-Syafi’i yang mengatakan, “Shalat tidak sama dengan puasa. Tidak seorangpun melakukannya kecuali dengan dzikir.” Mereka mengira, bahwa dzikir yang dikatakan Asy-Syafi’i adalah ucapan niat ketika hendak shalat. Padahal, dzikir yang dimaksudkan Imam Asy-Syafi’i adalah ucapan takbiratul ihram bukan lainnya. Bagaimana mungkin Asy-Syafi’i menganjurkan suatu perkara yang tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga dilakukan oleh khulafaur rasyidin atau para sahabat dalam shalat mereka…

b) Pendapat Kedua: Melafalkan Niat Sebelum Takbiratul Ihram
Niat dilafalkan dengan kalimat tertentu sebelum mengucapkan takbir, yaitu dengan menyebutkan nama shalat, jumlah raka’at, menentukan arah kiblat dan kedudukan
shalat (membaca ushalli… atau nawaitu an ushallia…)
Cara ini berkembang luas di kalangan pengikut madzhab Syafi’i, terutama di Indonesia, walaupun Iman Syafi’i sendiri tidak berpendapat demikian.
88.Esssensi niat bukanlah terletak pada pelafalannya sebelum takbir itu sendiri, namun dimaksudkan untuk mengantar hati supaya ketika melakukan takbir, niat yang ada dalam hati sudah benar (memantapkan niat yang sudah ada dalam hati-pen.). Seringkali kita melakukan kesalahan ingatan, misalnya kita ingin melakukan shalat Dzuhur, tetapi getar hati mengatakan shalat Ashar. Jelas niat demikian menyebabkan shalat tidah sah. Lain persoalannya, kalau seseorang salah melafalkan niat, tetapi dalam hatinya yang dimaksudkan adalah shalat tertentu; misalnya seseorang melafalkan niat shalat Ashar padahal yang dimaksud hatinya adalah shalat Dzuhur, maka shalatnya tetap sah.” (Lihat Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-ahyar fi hilli ghayat al-ikhtisar [Daru ahyai ak-kutub al-Arabiyah: Indonesia, tth.] Juz 1, hlm. 102)

B. GERAKAN DAN BACAAN SHALAT


1. Takbiratul Ihram
Takbiratul ihram harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
89. Muhammad Ibnu Rusyd berkata, "Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafalkannya di mulut."
90. An-Nawawi berkata, "…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafal takbir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika shalat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an, takbir, membaca tasbih ketika ruku', tasyahud, salam dan do’a-do’a dalam shalat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah…" beliau melanjutkan, "Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi'i berkata dalam al-Umm, 'Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya.  Tidak  patut  dia  menambah volume suara lebih dari ukuran
itu.'." (al Majmuu' III/295).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai shalatnya dengan takbiratul ihram yakni  mengucapkan  Allahu  Akbar  di  awal  shalat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu kepada orang yang shalatnya salah.
91. Beliau bersabda kepada orang itu: "Sesungguhnya shalat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu' dan melakukan wudhu' sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar." (HR. Thabrani dengan sanad shahih).
92. Dari Abi Humaid radhiyallahuanhu: “Apabila Nabi akan mendirikan shalat, beliau berdiri lurus dan mengangkat kedua tangannya, kemudian beliau mengucapkan Allahu Akbar.”  ( HR. Ibnu Majah,  dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
93. Dari Ali radhiyallahuanhu: “Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan melaksanakan shalat, beliau mengucapkan Allahu Akbar.” (HR. Al-Bazzar dengan sanad shahih memakai syarat Muslim)
94. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apabila engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu'mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihram." (Muttafaq’alaihi).
a) Waktu Mengangkat Tangan Ketika Takbir
Adapun  saat  mengangkat  tangan  ketika takbir berdasarkan riwayat yang shahih
ada tiga macam:
1) Mengangkat Tangan Terlebih Dahulu, Baru Kemudian Mengucapkan Takbir
95. Dari Zuhri radhiyallahuanhu: “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan mendirikan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya, kemudian beliau mengucapkan takbir.” (HR. Muslim)
Cara   ini   menurut   ulama   Hanafiah   adalah  yang  paling  baik.  Alasannya  ialah mengangkat kedua tangan itu merupakan simbol untuk meniadakan sifat-sifat kebesaran kepada selain Allah. Sedangkan takbir itu sendiri merupakan pengukuhan akan kebesaran Allah. Peniadaan harus didahulukan daripada pengukuhan seperti dalam kalimat "syahadat". (Lihat Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Fatkhul Bari, (Beirut: Dar Al-Ma'rifah, 1379 H), juz 2, h.218).
Dalam  syahadat  sebelum  mengukuhkan  bahwa  hanya Allah lah Tuhan yang wajib disembah, ditiadakan dulu adanya Tuhan-tuhan selain Allah.

2) Mengucapkan Takbir Terlebih Dahulu, Baru Kemudian Mengangkat Kedua Tangan
96. Dari Khalid, bersumber dari Abi Qilabah, “Bahwa ia pernah melihat Malik bin Huwairits ketika melakukan shalat, memulainya dengan bertakbir serta mengangkat kedua tangannya. Apabila dia ingin rukuk, dia mengangkat kedua tangannya. Begitu juga apabila dia bangkit dari rukuk, dia mengangkat kedua tangannya. Setelah selesai dia menceritakan bahwa itulah cara yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Muttafaq `alaih)
Tentang  cara  yang  kedua Ini, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Saya tidak
pernah menjumpai ulama yang berpendapat bahwa takbir itu didahulukan daripada mengangkat   tangan."  (Lihat  Ibnu  Hajar  Al-Atsqalani,  Fatkhul  Bari,  Beirut :  Dar Al-
Ma'rifah, 1379 H), juz 2, h.218).
3) Bersamaan Antara Mengucapkan Takbir Dan Mengangkat Kedua Tangan
97. Salim bin Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu menceritakan,"Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga setentang dengan kedua bahunya sambil mengucapkan takbir. Jika akan ruku’, beliau lakukan pula seperti itu. Begitu juga ketika hendak bangkit dari ruku’. Tetapi beliau tidak melakukannya ketika mengangkat kepala dari sujud.” (HR. Muslim)
98. Riwayat dari Nafi', katanya: "Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika membaca takbir, hingga tangannya sejajar dengan bahunya atau hampir sejajar dengannya .” (HR. Ahmad dan lainnya)
Menurut Imam Nawawi, cara ini adalah benar sebagaimana juga dilakukan oleh Imam Syafi'i.

b) Posisi Kedua Tangan Ketika Takbir

Posisi kedua tangan ketika takbir ada 3 macam:

1) Kedua Tangan Sejajar Telinga; Dimana Kedua Ibu Jari Sejajar Dengan Bagian   Telinga Paling Bawah
99. Dari Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu anhu, ia berkata:"Rasulullah shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  biasa  mengangkat  kedua  tangannya sejajar telinga setiap kali bertakbir –di dalam shalat." (HR. Muslim).
100. Dari Malik bin Al-Huwairits radhiyallahuanhu, ia berkata: "Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan bagian telinga paling bawah, demikian juga ketika akan ruku’ dan bangun dari ruku’." (HR. An-Nasa’i).
101. Dari Wail radhiyallahuanhu: "Sesungguhnya ia melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika akan shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai kedua ibu jarinya sejajar dengan bagian telinga paling bawah." (HR. An-Nasa’i).

   2) Kedua Tangan Sejajar Bahu
102. Dari Abdullah bin Umar radiyallahu anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar bahu jika hendak memulai  shalat,  setiap  kali  bertakbir  untuk  ruku'  dan  setiap kali bangkit dari ruku'nya." (HR. Muttafaq ‘alaih).
103. Dari Zuhri radiyallahu anhu: "Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendirikan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya, kemudian beliau." (HR. Muslim).
104. Salim bin Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu menceritakan,
"Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga setentang dengan kedua bahunya sambil mengucapkan takbir. Jika akan ruku’, beliau lakukan pula seperti itu. Begitu juga ketika hendak bangkit dari ruku’….” (HR. Muslim)
105. Riwayat dari Nafi', katanya: "Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika membaca takbir, hingga tangannya sejajar dengan bahunya atau hampir sejajar dengannya .” (HR. Ahmad dan lainnya)

3) Ujung-Ujung  Jari  Kedua  Tangan  Sejajar Dengan Puncak Kedua Telinga, Kedua  Ibu  Jari  Sejajar  Dengan  Ujung  Bawah  Telinga  Dan  Kedua Telapak Tangan Sejajar Dengan Kedua Bahu.

Cara ini adalah cara yang paling utama dan dipakai oleh  jumhur ulama.  An-Nawawi
berkata: asy-Syafi'i  memilih  cara  ini sebagai hasil dari penyatuan beberapa hadits, dan
akhirnya banyak diikuti oleh umat islam.

c) Membuka, Meluruskan & Merapatkan Jari-Jemari Tangan Ketika Takbir
106.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas --tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim).
107. Dari Abu Hurairah: “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak melakukan shalat, beliau mengangkat tangannya sambil mengembangkan (jemarinya).” (HR. al-Khamsah kecuali Ibnu Majah).
d) Meletakkan Kedua Tangan Setelah Takbir (Bersedekap)

1)   Tangan Kanan Di Atas Tangan Kiri.
108. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan shalat." (HR. Ibnu Hibban dan Adh-Dhiya' dengan sanad shahih).
109.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
110. Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang shalat, tetapi orang ini meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih).

      2) Meletakkan Atau Menggenggam.

111. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan lengan kirinya, berdasar hadits dari Wail bin Hujur: "Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya." (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban).
112. Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya,"Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya." (HR. An-Nasa’i dan Daruqutni dengan sanad shahih).

      3) Posisi Meletakkan Tangan.
Ini merupakan persoalan yang menjadi perselisihan di kalangan ulama. Sebabnya ialah ditemukannya banyak hadits yang tidak menjelaskan secara detail mengenai posisi tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di dalam kitab-kitab hadits Bukhari dan Muslim. Hanya ada satu hadits yang menjelaskan secara meyakinkan perihal posisi tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah. Namun hadits tersebut ternyata tidak banyak dikutip oleh Imam-imam besar seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali.
Maka berkembanglah tata cara meletakkan kedua tangan dalam beberapa cara.

i) Meletakkan Kedua Tangan Di Bawah Pusar
Cara ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
113. Dari Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu, ia berkata: Di antara sunnah dalam shalat adalah meletakkan telapak tangan di bawah pusar.” (HR. Abu Dawud, Ad-Daruquthi dan Al-Baihaqi).
Cara ini dianut oleh Imam Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri.
Menurut imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu Jilid III hadits ini merupakan hadits yang lemah (dhaif), karena hadits ini diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Ishak Al-Wasithi, sedangkan ia adalah perawi dhaif menurut kesepakatan dari para ulama hadits (muhadditsin) dalam bidang jarh wa ta’dil.
Menurut Al-Baihaqi, “Sanadnya tidak kuat, karena Abdurrahman bin Ishak Al-Wasithi adalah perawi yang matruk.”
Menurut Aini Al-Hanafi dalam kitab ‘Umdatul Qari’ jilid IV; ini adalah perkataan Ali bin Abi Thalib dari periwatannya kepada Rasulullah tidak benar.
Mereka juga berpedoman pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah “Meletakkan telapak tangan di bawah pusar termasuk sunnah dalam shalat” (Hadits dhaif diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hazm dari Abdurrahman bin Ishak Al-Wasithi)
Dan dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata, “Di antara sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya di bawah pusar.” Ini juga hadits yang dhaif (tidak ada sanadnya), kedhaifan hadits ini diterangkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla jilid IV.


ii) Meletakkan Kedua Tangan Di Atas Dada
114. Dari Wail bin Hajar, ia berkata,“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dan diletakkan di dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, shahih)
Oleh Syaikh Al-A lbani  dalam  kitabnya  Sifat  Shalat  Nabi  menyebutkan bahwa
makna dada adalah dada kita ini, jadi bukan di atas pusar tapi tetap di atas dada.
Dan mengomentari kedudukan hadits ini, penulis kitab Nailul Authar Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa:,
115.Hadits ini adalah hadits paling kuat dalam babnya yang menerangkan tentang posisi tangan saat shalat.
Imam Mawarzi dalam Kitab Masa'il, berkata:
116. "Imam Ishaq bin Rahawaih meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami…. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a qunut dan melakukan qunut sebelum ruku'. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan teteknya."
Pendapat yang  semacam  ini juga dikemukakan oleh Qadhi 'Iyadh al- Maliki dalam
bab Mustahabatu ash-Shalat pada Kitab Al I'lam, beliau berkata:
117. "Dia (Imam Ishaq bin Rahawaih) meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada."
iii) Meletakkan Kedua Tangan Di Antara Pusar Dan Dada

118. Dari Ibnu Jabir Adh-Dhabbi dari Bapaknya, ia berkata:
Bahwa Ali radhiyallahu anhu (ketika bersedekap) memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya pada daerah antara lengan tangan dengan sikunya di atas pusarnya.” (HR. Abu Dawud)
Cara ini dilakukan oleh Imam Syafi'i (meletakkan kedua tangan sedikit di bawah dada dan di atas pusar sedikit miring ke arah kiri) dan jumhur ulama.
Sungguhpun ada hadits dari Wail yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah yang secara tegas mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, namun ulama besar lebih banyak memilih cara ini. Hal ini disebabkan karena hanya dalam shahih Ibnu Khuzaimah-lah, terdapat riwayat Wail menyatakan secara tegas posisi tangan di atas dada. Padahal hadits yang sama dalam kitab-kitab yang sudah diakui keshahihannya, yaitu dalam kitab Bukhari dan Muslim, riwayat Wail tidak menceritakan secara detail posisi tangan diletakkan setelah takbiratul ihram.
Para ulama pendukung cara ini berpendapat, bahwa meletakkan kedua tangan di daerah antara bawah dada dan pusar mempunyai hikmah yang sangat besar. Pengarang kitab Faedul Qodir, Abdul Rauf al-Manawi, mengatakan bahwa hikmah meletakkan kedua tangan di bawah dada di atas pusar adalah, bahwa tempat tersebut adalah hati, anggota badan yang paling mulia, dan di dalam hatilah tempatnya niat. Niat sangat berhubungan dengan kekhusyu’an shalat, maka dapat dirasakan lebih khusu’ ketika kita shalat dengan tangan di antara pusar dan dada, daripada ketika tangan berada di atas dada.
e) Pandangan Mata

1)   Memandang Ke Tempat Sujud
Madzhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa pada saat mengerjakan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud.
119.Saat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya dan memandang tempat sujud dan tatkala beliau memasuki Ka’bah pandangannya tetap kearah tempat sujud sampai beliau keluar Ka’bah. (HR. Baihaqi dan Hakim, dishahihkan oleh Hakim)
120. Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam shalat)." (HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

2)   Memandang Ke Depan
Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa pandangan orang shalat adalah ke depan.
121.…. Maka sungguh Kami akan memalingkanmu kearah kiblat yang kamu sukai, maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Menurut Imam Maliki, firman Allah, “Maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram,” apabila pandangan orang shalat diarahkan ke tempat sujud, maka membutuhkan posisi tunduk dan hal ini akan mengganggu kesempurnaan posisi berdiri. Sebagian mereka juga berpendapat bahwa arah pandangan ketika shalat adalah diarahkan ke dada. Menurut Syarik Al-Qadhi, ketika orang yang shalat sedang berdiri, arah pandangannya adalah tempat sujud, seperti pendapat mayoritas ulama, karena akan terasa tenang, dan akan mengarah pada khusu’. Sedangkan ketika ia sedang ruku’, pandangannya diarahkan ke dua belah kaki, dan ketika ia sedang sujud pandangannya diarahkan ke batang hidung, adapun ketika ia sedang duduk arah pandangannya adalah tembok di depan-nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid I)
3) Memalingkan Wajah
Seseorang yang tengah melakukan shalat, tidak diperbolehkankan untuk memalingkan wajahnya. Karena, pada waktu itu Allah tengah berhadapan dengan wajah hambanya. Sehingga apabila seorang hamba memalingkan wajahnya, secara tidak langsung ia telah memalingkan wajahnya dari Allah.
122. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian shalat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang shalat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri." (HR. Tirmidzi dan Hakim).
123. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah memerintahkan shalat kepada kalian. Apabila kalian telah menghadapkan wajah kalian dalam shalat, maka janganlah sekali-kali memalingkannya. Karena Allah tengah berhadapan dengan wajah hamba-Nya yang sedang melakukan shalat. Dan Allah tidak akan berpaling, sebelum hamba-Nya memalingkan wajahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi)
Dalam Zaadul Ma'aad I/248 disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang shalat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, "Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak." Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya.


3)   Memejamkan Mata
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama; apakah dibolehkan atau tidak.
Menurut Ibnu Qayyim: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan pada kita untuk memejamkan mata ketika shalat, dan ulama berbeda pendapat dalam memakruhkannya. Imam Ahmad dan lainnya menganggap hal itu makruh, menurut mereka itu adalah perbuatan Yahudi, namun sebagian ulama membolehkannya dan tidak menganggapnya makruh. Karena menurut mereka, demikian itu (memejamkan mata) akan dapat membantu untuk mencapai kekhusyu’an sebagai inti shalat dan tujuan utamanya.
Dalam kitab Zaadul Ma’ad jilid I, disebutkan bahwa yang tepat adalah: apabila membuka kedua kelopak mata tidak mengganggu konsentrasi maka itu lebih baik, namun apabila di depan arah kiblatnya terdapat dinding yang dihiasi dengan ukiran yang dapat mengganggu konsentrasi shalat, maka dalam kondisi ini memejamkan mata tidak dimakruhkan sama sekali. Dalam kondisi ini pendapat yang mengatakan memejamkan mata lebih dianjurkan dekat sekali dengan pendapat yang menganggap makruh memejamkan mata, jika tidak ada halangan apa pun.
4)   Menengadah Ke Langit
Sebagian jama’ah dalam shalat, mereka mengangkat pandangan ke langit. Perbuatan ini dengan tegas dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjanjikan siksa bagi pelakunya.
124. Dari Ibnu Sirin, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolak-balikkan pandangannya ke langit kemudian turunlah ayat ‘Mereka adalah orang-orang yang khusyu dalam shalat’ (QS. Al-Mu’minun: 2) Lalu beliau menundukkan kepalanya” (HR Ahmad dan dishahihkan Al-Hakim)
125.Hendaklah orang-orang berhenti menengadah ke langit ketika sedang shalat atau matanya tidak dikembalikan lagi kepada mereka.” (Dalam riwayat lain dikatakan: “Atau mata-mata mereka akan dicopot.)” (HR. Bukhari, Muslim dan Siraj)
126. Dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa sekelompok kaum mengangkat pandangan (menengadahkan wajah mereka) ke langit dalam shalat? Beliau mengangkat suara sampai beliau berkata, akhiri itu semua dan hendaknya turunkan pandangan mereka (lihat ke arah sujud).” (HR. Bukhari)
Menurut Qadhi ‘Iyadh’, “Ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a, dan bukan ketika shalat. Menurut Syuraih dan ulama lainnya itu dilarang. Namun mayoritas mereka membolehkannya dan mereka berpendapat, langit adalah kiblat atau arah untuk berdo’a, sebagaimana Ka’bah kiblat dalam shalat. Mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a tidak dilarang, sebagaimana tidak dilarang mengangkat tangan dalam berdo’a”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
127.Di langit rezekimu dan apa yang kau janjikan.” (QS. Adz-Dzariyat: 22)

2. Membaca Do’a Iftitah
Do’a iftitah dibaca pada raka’at pertama sebelum membaca surat Al-Fatihah. Dalam do’a iftiftah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan pujian, sanjungan dan kalimat keagungan untuk Allah.
Beliau pernah memerintahkan hal ini kepada orang yang salah melakukan shalatnya dengan sabdanya:
128. "Tidak sempurna shalat seseorang sebelum ia bertakbir, mengucapkan pujian, mengucapkan kalimat keagungan (do’a iftiftah), dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalnya…" (HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui oleh Dzahabi).
Adapun do’a iftitah yang masyur di kalangan umat Islam adalah:
Pertama: Berdasarkan riwayat Imam Syafi’i yang bersumber dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan bacaan:

129. "(INNII) WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATHARAS SAMAWAATI WAL-ARDHA HANIIFAN, WAMAA ANA MINAL MUSYRIKIIN, INNAA SHALAATII WANUSUKII WAMAHYAA-YA WAMAMA-TII LILLAAHI RABBIL ‘ALAMIN. LAA SYARIIKALAHUU WABIDZAALIKA UMIRTU WA ANA AWWALUL MUSLIMIN (ADA SEBAGIAN YANG MENGATAKAN, "WA ANA MINAL MUSLIMIN"). ALLAHUMMA ANTAL MALIKU LAA ILAAHA ILLA ANTA SUBHAANAKA WABIHAMDIKA RABBII WA ANA ‘ABDUKA, ZHALAMTU NAFSI WA'TARAFTU BI DZANBII FAGHFIRLII DZUNUUBII JAMII'AN LAA YAGHFIRUHAA ILLAA ANTA. WAHDINII LIAHSANIL AKHLAAQ, LAA YANDII LI AHSANIHAA ILLAA ANTA, WASH RIF ‘ANNI SAYYI-AHAA LAA YASRIFU ‘ANNII SAYYI-AHAA ILLAA ANTA, LABBAIKA WA SA'DIKA WAL KHAIRU BIYADIKA WASY SYARRU LAISA ILAIKA WAL-MUHDII MAN HADAITA ANA BIKA WAILAIKA LA MANJA MINKA ILLAA ILAIKA, TABAARAKA WA TA-'AALAA, ASTAGHFIRUKA WA ATUUBU ILAIKA”.

[Artinya]: "Aku hadapkan wajahku dengan penuh keridhaan kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Dan kami bukanlah dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, semuanya hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada yang menyerupainya, dan untuk itulah aku diperintahkan, dan kami adalah dari golongan orang-orang yang` pertama berserah diri. (Ada yang menggunakan redaksi "dari sebagian golongan orang-orang yang berserah diri). Ya Allah, ya Tuhanku! Engkaulah Raja Diraja, tidak ada Tuhan kecuali Engkau, maha suci Engkau, dan hanya dengan memuji Engkau wahai Tuhanku, dan aku adalah hamba-Mu, Aku telah menzalimi diriku sendiri, dan aku bergelimang dengan dosa maka ampunilah dosa-dosaku semua. Tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Aku memenuhi panggilan-Mu dan kebahagiaan dan kebaikan ada pada-Mu, sedangkan kejelekan tidak pada-Mu. Engkaulah Tuhan yang menunjukkan orang-orang yang telah engkau beri petunjuk, aku menghadap kepada-Mu, tidak ada tempat berlindung kecuali kepada-Mu. Ya Allah Engkau Tuhan pemberi berkah dan yang maha luhur, aku mohon ampun kepada-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu." .” (HR. Imam Syafi’i)

Doa yang panjang ini, boleh dibaca hanya sampai pada "Wa ana minal muslimin".
Doa ini biasanya didahului dengan bacaan takbir, tahmid dan tasbih, sebagai berikut:

“ALLAAHU AKBAR KABIIRAW WAL HAMDULILLAAHI KATSIIRAW WA SUBHAANALLAAHI BUKRATAW WA-ASHIILAA.”

[Artinya]: "Allah Maha besar tiada yang menandingi kebesaran-Nya, segala puji sebanyak-banyaknya bagi Allah, maha suci Allah pada pagi dan petang."
Tambahan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu yang mengatakan bahwa pada waktu para sahabat shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada salah seorang yang membaca bacaan di atas. Kemudian Nabi berkata,
130. "Siapa yang membaca bacaan Allahu Akbar dst.. . " Seorang sahabat menjawab, "Saya ya Rasulullah!" Kemudian Rasul berkata, "Saya kagum pada bacaan itu, karena bacaan itu, pintu-pintu langit terbuka." (HR. Muslim)

Kedua: Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh Bukhari dan Muslim:
131. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, katanya:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam seketika selepas bertakbir semasa shalat sebelum membaca al-Fatihah, aku bertanya: Wahai Rasulullah! Engkau yang lebih aku sayangi daripada ayah dan ibuku aku melihat kamu diam di antara takbir dan bacaan al-Fatihah, apakah yang anda baca? Baginda menjawab dengan bersabda: Aku membaca doa:

"ALLAHUUMMA BA'ID BAINII WA BAINA KHATHAAYAAYA KAMAA BAA'ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIBI, ALLAAHUMMA NAQQINII MIN KHATHAAYAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLAAHUMMAGHSILNII BIL MAA'I WATS TSALJI WAL BARAD"

[Artinya]: "Ya Allah! Jauhkanlah aku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah! Bersihkan daku dari dosa-dosaku sebagaimana bersihnya baju putih daripada kotoran. Ya Allah! Sucikanlah aku dari dosa-dosaku dengan air, air salju, dan embun." (HR. Muttafaq ‘alaih)

3. Membaca Ta’awudz
132. Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk shalat, beliau mengucapkan,“Ya Allah Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari godaan syaitan yang terkutuk.” (Sunan As-Shagir)
Para ulama berbeda pendapat tentang sunnahnya membaca ta’awudz selain raka’at pertama. Yang berpendapat bahwa membaca ta’awudz adalah disunnahkan dalam setiap raka’at, berdasarkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
133. "Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk." (An Nahl: 98).
Dan pendapat ini adalah yang paling shahih dalam madzhab Syafi'i dan diperkuat oleh Ibnu Hazm (Lihat al Majmuu' III/323 dan Tamaam al Minnah 172-177).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca ta’awudz yang berbunyi:

"A'UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WANAFTSIHI"
[Artinya]: "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq)." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
Selanjutnya beliau membaca:

“BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM”

[Artinya]: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah”, dengan suara lirih. (HR. Bukhari Muslim, Abu ‘Awanah, Thahabi, dan Ahmad)

4. Membaca Al-Fatihah

a)   Hukum Membaca Al-Fatihah

Membaca Al-Fatihah merupakan salah satu dari sekian banyak rukun shalat, jadi kalau dalam shalat tidak membaca Al-Fatihah maka tidak sah shalatnya.
134. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Tidak dianggap shalat (tidak sah shalatnya) bagi yang tidak membaca Al-Fatihah" (HR. Al-Jama'ah, yakni: Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah).
135. Sesungguhnya Abu Saib mendengar Abu Hurairah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah, maka shalatnya cacat, shalatnya cacat, shalatnya cacat tidak sempurna.’ Aku bertanya, ‘Wahai Abu Hurairah sesungguhnya aku kadang-kadang jadi makmum.’ Abu Hurairah memberikan isyarat kepada kedua tanganku. Lalu beliau berkata, ‘Ya Faris! Bacalah di dalam Hatimu’" (HR. Muslim dan Ibnu Khuzaimah).
136.Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca Al-Fatihah.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi)

b) Kapan Kita Wajib Membaca Al-Fatihah
Para ulama juga masih berbeda pendapat mengenai kapan diwajibkannya membaca surat Al-Fatihah, apakah setiap raka’at atau pada sebagian raka’at saja. Imam Syafi’i berpendapat bahwa wajib hukumnya membaca surat Al-Fatihah di setiap raka’at. Sedangkan Imam Hasan al-Bashri dan ulama Basrah berpendapat cukup pada raka’at pertama saja. Menurut Imam Al-Auza’i, perbedaan ini disebabkan hadits tentang persoalan ini terlalu umum, sehingga memungkinkan banyak pemahaman.
c) Hukum Membaca Basmalah Sebelum Membaca Al-Fatihah
Hukum membaca basmalah ini terkait dengan pandangan apakah basmalah termasuk bagian surat Al-Fatihah atau bukan. Bagi yang berpendapat basmalah merupakan salah satu ayat surat Al-Fatihah, maka membacanya adalah wajib hukumnya. Dan bagi yang mengatakan Basmalah bukan merupakan bagian dari surat Al-Fatihah, maka tidak perlu membacanya.
1)   Pendapat Basmalah Bukanlah Bagian Surat Al-Fatihah
Sedangkan ulama yang berpendapat tidak perlu membaca bismillah adalah ulama yang menyatakan bahwa bismillah bukanlah bagian dari surat Al-Fatihah. Ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Alasannya ialah karena bismillah bukan bagian dari Al-Fatihah, maka konsekuensinya tidak wajib dibaca ketika shalat. Di samping itu mereka juga berargumentasi dengan hadits berikut:

137. Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ia berkata, "Saya shalat di belakang Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka semua tidak membaca "Bismillahir rahmanirahim" ketika memulai bacaan shalatnya." (HR. Malik dalam Muwaththa).
2)   Pendapat Basmalah Termasuk Bagian Surat Al-Fatihah
Ulama yang berpendapat bahwa basmalah termasuk bagian surat Al-Fatihah dan wajib membacanya ketika shalat ialah Imam Syafi'i. Alasannya ialah hadits berikut:
138. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai bacaan Al-Fatihahnya dengan Bismillah. (HR Abu Dawud, Daruqutni, Al-Khatib)
139. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah yang mendengar dari Ummu Salamah, bahwa: “Sesungguhnya ia pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ummu Salamah menyatakan, ‘Ia putus-putuskan (membacanya) ayat demi ayat, seperti Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. Arrahmaanir rahiim. Maaliki yaumiddin …” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
140. Abu Hurairah radhiyallahu anhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu semua membaca Alhamdulillah, maka bacalah Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Sesungguhnya itu ayat darinya (Al-Fatihah) atau salah satu ayat darinya.” (HR. Ad-Daruqutni)
Ketika ada hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai bacaannya dengan "Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin" (Hadits dari Anas menyatakan bahwa Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka semua tidak membaca "bismillah" ketika memulai bacaan surat Al-Fatihahnya), Imam Syafi'i menanggapinya dengan mengatakan, "Maksudnya ialah mereka memulai shalatnya dengan bacaan Ummul qur'an sebelum membaca surat-surat lain. Jadi bukan berarti mereka tidak membaca bismillah, baik sesudah maupun sebelum."
Menurut Imam Syafi'i, bismillah ini dibaca mengikuti sifat bacaan surat Al-Fatihah, ketika al-Fatihah pada tempat yang harus dibaca keras (jahr), maka bismillah juga harus dibaca keras, sedang kalau pada tempat yang harus dibaca lirih (sirr), maka bismillah juga harus di baca lirih. Jadi dalam madzhab Syafi'i, membaca bismillah saat membaca surat Al-Fatihah adalah wajib.
Jadi kalau kita sedang shalat sendirian (munfarid) maka wajib untuk membaca Al-Fatihah, begitu pun pada shalat jama'ah ketika imam membacanya secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada shalat Dzuhur, 'Ashr, satu raka’at terakhir shalat Mahgrib dan dua raka’at terakhir shalat 'Isya, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).
3)   Pendapat Basmalah Termasuk Bagian Surat Al-Fatihah Tetapi Dibaca Secarah Lirih (Tidak Dikeraskan)
Dari hadits-hadits di atas, sepintas ada pertentangan antara hadits yang mendukung pendapat bahwa basmalah termasuk bagian surat Al-Fatihah dengan hadits yang mendukung pendapat bahwa basmalah tidak termasuk bagian surat Al-Fatihah, benarkah?
Menurut Ibnu Qaiyim, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca bismillah dalam shalat. Hanya saja beliau sering membacanya dengan suara lirih/sirr (tidak dikeraskan).
141. [Setelah selesai membaca ta’awudz], selanjutnya beliau membaca:

“BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM”
[Artinya]: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah”, dengan suara lirih. (HR. Bukhari Muslim, Abu ‘Awanah, Thahabi, dan Ahmad)

d) Cara Membaca Al-Fatihah

Dalam membaca Al-Fatihah disunnahkan membacanya ayat demi ayat, dan berhenti pada setiap akhir ayat. Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membaca Al-Fatihah, yaitu beliau berhenti pada setiap akhir ayat. Beliau tidak menyambung satu ayat dengan ayat sesudahnya, meskipun ada hubungan antara kedua ayat tersebut.
142. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah yang mendengar dari Ummu Salamah, bahwa: “Sesungguhnya ia pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ummu Salamah menyatakan, ‘Ia putus-putuskan (membacanya) ayat demi ayat, seperti Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. Arrahmaanir rahiim. Maaliki yaumiddin …” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
143. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah pada setiap raka’at. Membacanya dengan berhenti pada setiap akhir ayat (waqaf), tidak menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya (washal). Jadi bunyinya:


Begitulah seterusnya sampai selesai. Beliau tidak menyambung ayat satu dengan ayat berikutnya. (HR. Abu Dawud, Sahmi dan 'Amr Ad-Dani, dishahihkan oleh Hakim, disetujui Adz-Dzahabi)
Terkadang beliau membaca ayat:
Dengan memendekkan bacaan maa menjadi:

(HR. Tamam Ar-Razi, Ibnu Abu Dawud, Abu Nu’aim dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi. Qira’ah membaca ma pendek riwayatnya mutawatir, sama dengan membaca maaliki dengan ma panjang)


e) Bacaan Amin Setelah Membaca Al-Fatihah
Disunnahkan membaca ‘amin’ setelah selesai membaca Al-Fatihah. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
144. Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
Apabila seorang Qori (pembaca Al-Fatihah) mengucapkan ‘amin’, maka ikutilah karena sesungguhnya Malaikat ikut meng-amini-nya. Maka barang siapa ucapan amin-nya berbarengan dengan ucapan ‘amin’ para malaikat, maka orang tersebut dosa-dosanya yang telah lampau diampuni.” (HR. Bukhari)
145. Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajari kami, beliau berkata, ‘Ketika imam membaca “Ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh-dhallin”, maka ucapkanlah Amin’.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

5. Bacaan Surah Setelah Al-Fatihah
Membaca salah satu surah Al-Qur’an atau beberapa ayat yang dihafalnya setelah membaca Al Fatihah dalam shalat hukumnya sunnah. Membaca surah Al-Qur’an ini dilakukan pada dua raka’at pertama.
146. Dari Qatadah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dzuhur dan Ashar bersama kami, maka pada dua raka’at pertama beliau membaca dua surat dan ummul kitab, terkadang beliau juga memperdengarkan kepada kami ayat-ayat Al-Qur’an, dan beliau membaca Al-Fatihah saja pada dua raka’at yang terakhir.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan lain-lain)
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai apakah membaca surat / ayat Al-Qur’an itu disunnahkan setiap raka’at. Imam Malik berpendapat bahwa disunnahkan hanya pada raka’at pertama dan kedua, sebagaimana hadits di atas. Sedangkan pada raka’at berikutnya cukup dengan membaca Al-Fatihah saja [Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi].
Sedangkan menurut Imam Syafi’i, hukum membaca surat / ayat Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah adalah sunnah, bahkan bukan hanya di dua raka’at yang pertama saja, melainkan pada semua raka’at. Imam Syafi’i bahkan mengatakan, paling tidak seseorang yang mengerjakan shalat itu membaca surat-surat pendek setelah dua raka’at pertama, misalnya surat Al-kautsar atau lainnya. Hadits yang menjadi landasan Imam Syafi’i adalah yang diriwayatkan dari Abu Said, sebagai berikut:
147. Dari Abu Said Al-Hudri, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu shalat Dzuhur pada dua raka’at pertama, tiap-tiap raka’atnya membaca kira-kira tiga puluh ayat, dan pada dua raka’at terakhir kira-kira membaca lima ayat. Atau kata Abu Said, ‘Separuh dari itu.’ Dan pada waktu shalat Ashar pada dua raka’at pertama, tiap-tiap raka’atnya sekitar lima belas ayat, dan pada dua raka’at terakhir sekitar separuhnya.” (HR. Muslim)
a)   Panjang Pendeknya Surah Yang Dibaca
Pada shalat munfarid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surah-surah yang panjang kecuali dalam kondisi sakit, batuk atau sedang dalam perjalanan, sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan dengan kondisi makmumnya (misalnya ada bayi yang menangis maka bacaan diperpendek).
Surah yang dibaca dalam setiap shalat adalah beragam dan berbeda, contohnya, bacaan pada shalat Shubuh biasanya lebih panjang dibandingkan bacaan pada shalat-shalat lima waktu lainnya. Shalat berikutnya yang agak panjang bacaannya yaitu shalat Dzuhur, Ashar, Isya, baru setelah itu shalat Maghrib. Disunnahkan agar bacaan pada raka’at pertama lebih panjang dibandingkan raka’at kedua.
b)   Cara Membaca Surah
148.Dalam satu shalat terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi satu surah dalam dua raka’at, kadang pula surah yang sama dibaca pada raka’at pertama dan kedua.” (HR. Ahmad dan Abu Ya'la, juga hadits shahih yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi atau riwayat dari Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, disahkan oleh Al-Hakim disetujui oleh Ad-Dzahabi)
149.Terkadang beliau membolehkan membaca dua surah atau lebih dalam satu raka’at.” (HR. Bukhari dan At-Tirmidzi, dinyatakan oleh At-Tirmidzi sebagai hadits shahih)
c)   Tata Cara Bacaan
150.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya membaca surah dengan jumlah ayat yang berimbang antara raka’at pertama dengan raka’at kedua.” (HR. Bukhari dan Muslim)
151. Dalam shalat yang bacaannya di-jahr-kan Nabi membaca dengan keras dan jelas. Tetapi pada shalat Dzuhur dan Ashar juga pada shalat Maghrib pada raka’at ketiga ataupun dua raka’at terakhir shalat Isya Nabi membacanya dengan lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi sedang membaca dari gerakan jenggotnya, tetapi terkadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada mereka tapi tidak sekeras seperti ketika di-jahr-kan.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
152. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca suatu surah dari awal sampai selesai selesai. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
"Berikanlah setiap surah haknya, yaitu dalam setiap (raka’at) ruku' dan sujud." (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dan 'Abdul Ghani Al-Maqdisi)
153. Dalam riwayat lain disebutkan:"Untuk setiap satu surah (dibaca) dalam satu raka’at." (HR. Ibnu Nashr dan At-Thahawi)
154. Dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani: "Seyogyanya kalian membaca satu surah utuh dalam setiap satu raka’at sehingga raka’at tersebut memperoleh haknya dengan sempurna."
Perintah dalam hadits tersebut bersifat sunnah bukan wajib.
155. Dalam membaca surat Al-Qur’an Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan tartil, tidak lambat juga tidak cepat -sebagaimana diperintahkan oleh Allah- dan beliau membaca satu per satu kalimat, sehingga satu surat memerlukan waktu yang lebih panjang dibanding kalau dibaca biasa (tanpa dilagukan). Rasulullah berkata bahwa orang yang membaca Al-Qur’an kelak akan diseru: "Bacalah, telitilah dan tartilkan sebagaimana kamu dulu mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau baca." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh At-Tirmidzi)
156. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surah Al-Qur’an dengan suara yang bagus, maka beliau juga memerintahkan yang demikian itu:
"Perindahlah / hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian [karena suara yang bagus menambah keindahan Al-Qur’an]." (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Tamam Ar-Razi)
157. "Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur’an." (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

6. Turun Untuk Ruku’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah selesai membaca surat dari Al-Qur’an kemudian berhenti sejenak, sebatas pengambilan nafas. Lalu beliau mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir seperti ketika takbiratul ihram (setentang bahu atau daun telinga) kemudian ruku’ (merundukkan badan kedepan dipatahkan pada pinggang, dengan punggung dan kepala lurus sejajar lantai).

158. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri dalam shalat mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya, hal itu dilakukan ketika bertakbir hendak ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku' …." (HR. Bukhari, Muslim dan Malik)

7. Ruku’
a) Cara Ruku’
1) Meletakkan Kedua Telapak Tangan Pada Lutut
159.Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (ketika ruku’) meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
2)   Menekankan Kedua Tangan Pada Lutut
160.Jika kamu ruku’ maka letakkan kedua tanganmu pada kedua lututmu dan luruskanlah punggungmu serta tekankan tangan untuk ruku’ (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
161.Beliau menyandarkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya seakan-akan memegang erat kedua lututnya itu.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
3)   Merenggangkan Jari-Jemari
162.Beliau merenggangkan jari-jarinya.” (HR. Al-Hakim)
163.Jika kamu ruku’, letakkanlah tanganmu pada lututmu, kemudian renggangkanlah jari-jarimu, kemudian tenanglah sampai ruas tulang belakangmu mantap di tempatnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

4)   Antara Kepala Dan Punggung Lurus, Kepala Tidak Mendongak Tidak Pula Menunduk Tetapi Tengah-Tengah Antara Kedua Keadaan Tersebut.
164.Beliau tidak mendongakkan kepalanya, tetapi posisi kepala sama rata dengan punggung.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Abu ‘Awanah)
165.Beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
166.Shalat seseorang sempurna setelah dia melakukan ruku’ dan sujud dengan meluruskan punggungnya.” (HR. Abu ‘Awanah, Abu Dawud dan Sahmi)
167. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dan melirik orang yang tidak melakukan ruku’ dan sujud dengan punggung yang lurus. Ketika selesai shalat, beliau bersabda: “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya tidak sah shalat orang yang tidak melakukan ruku’ dan sujud dengan meluruskan punggungnya” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Majah dan Ahmad, hadits shahih).
168.Beliau bila ruku’, meluruskan dan membentangkan punggungnya sehingga bila air dituangkan di atas punggung beliau, air tersebut tidak akan bergerak.” (HR. Thabrani, ‘Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Majah).

5) Merenggangkan Kedua Siku Dari Lambung.
169.Beliau menjauhkan (membuka) kedua siku ke samping kiri dan kanan badannya.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
6) Thuma’ninah Dan Memperlama Ruku’
170. Beliau pernah melihat orang yang ruku’ dengan tidak sempurna dan sujud seperti burung mematuk, lalu berkata: “Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti itu, maka ia mati di luar agama Muhammad [shalatnya seperti gagak mematuk makanan] sebagaimana orang ruku’ tidak sempurna dan sujudnya cepat seperti burung lapar yang memakan satu, dua biji kurma yang tidak mengenyangkan.” (HR. Abu Ya’la, Al-Ajiri, Al-Baihaqi, Adh-Dhiya’ dan Ibnu Asakir)
171. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan ruku’ dengan tenang dan menyuruh orang yang shalatnya salah berbuat demikian. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa wallam bersabda: “Sempurnakanlah ruku’ dan sujudmu! Demi Tuhan yang menggenggam jiwaku, aku benar-benar dapat melihat kamu dari balik punggungku” (HR. Bukhari dan Muslim)
172. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pencuri yang paling jahat yaitu orang yang melakukan pencurian dalam shalatnya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana yang dikatakan mencuri dalam shalat itu?” Sabdanya: “Yaitu tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Thabarani dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi).
173.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya, juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

b) Bacaan Ketika Ruku’
Lafal yang dibaca ketika ruku’ telah ditentukan sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi‘i yaitu: “Subhana Rabbial Adzim” (3x). Menurut pendapat mereka, tidak boleh membaca selain ini karena bacaan untuk ruku‘ dan sujud atau tauqifi, sudah merupakan ketetapan yang baku. Pendapat mereka di dasarkan pada dalil hadits:
174. Dari ‘Uqbah bin Amir, dia berkata:”Ketika turun ayat (Fasabbih bismi rabbikal ‘adzhim), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami,”Jadikanlah ayat itu bacaan dalam ruku‘mu. Dan ketika turun ayat (Sabbihisma rabbikal a‘laa) beliau berkata,”Jadikanlah ayat itu bacaan dalam sujudmu.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim, al-Baihaqi, Ad-Darimiy)
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa lafal untuk ruku‘ dan sujud tidak ada lafal yang baku. Sebagaimana pengertian dalil yang dipahami beliau:
175. Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Quran dalam ruku‘ dan sujud. Dalam ruku‘, (ta‘dzhimkan) agungkanlah Rabbmu dan dalam sujud (bertasbihlah) sucikanlah rabbmu.” (HR Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, Al-Baihaqi, Ahmad)
Bacaan ruku’ ada beberapa versi, dan kesemuanya boleh dijadikan sebagai bacaan ruku’, karena bacaan tersebut memiliki dasar-dasar yang kuat dari hadits yang berbeda-beda, di antaranya adalah:
Bacaan 1:
176. Dari Hudzaifah, “Bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan:

“SUBHAANA RABBIYAL ADZIIMI” 3x
[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhanku Yang Maha Agung” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Bacaan 2:
177. Dari ‘Uqbah bin Amir, dia berkata: ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika ruku‘ membaca:

“SUBHAANA RABBIYAL ADZIIMI WA BIHAMDIHI” 3x
[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhanku Yang Maha Agung, dan aku ruku’ dengan memuji-Mu”. (HR Abu Dawud, Daruqutni meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud)
Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, beberapa perawi hadits ini adalah dhaif. Namun demikian ada riwayat lain yang menguatkan hadits ini, yaitu hadits Hudzaifah yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di atas, serta hadits Aisyah radhiyallahu anha berikut:
178. Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata: “Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam ruku’ dan sujudnya mengucapkan, ‘Subhanakallahumma rabbanaa bihamdika Allahummaghfirlii’.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Keterkaitan hadits ini dengan do’a di atas adalah pada bacaan “tahmidnya”; artinya kalau Rasulullah juga pernah bertahmid dalam ruku’nya, maka berarti tahmid tidak dilarang. Dengan demikian, sungguhpun hadits Uqbah yang diriwayatkan Abu Dawud dhaif, namun bisa dipakai karena didukung oleh hadits lain yang shahih.
Bacaan 3:

179. Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata: “Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam ruku’ dan sujudnya mengucapkan:

“SUBHANAKALLAHUMMA RABBANAA BIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII”
[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhan kami, dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.” (HR. Muttafaq ‘alaih)


8. Bangkit Dari Ruku’ Untuk I’tidal
Setelah ruku' dengan sempurna dan selesai membaca do’a, maka kemudian bangkit dari ruku' (i'tidal). Waktu bangkit tersebut membaca tasmi (Sami' Allaahu Liman Hamidah) disertai dengan mengangkat kedua tangan sebagaimana waktu takbiratul ihram.
180. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri dalam shalat mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua pundaknya, hal itu dilakukan ketika bertakbir mau ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku' sambil mengucapkan Sami' Allaahu Liman Hamidah…" (HR. Bukhari, Muslim dan Malik).
9. I’tidal
a) Cara I’tidal
Adapun dalam tata cara i'tidal ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat, pertama mengatakan bersedekap dan yang kedua mengatakan tidak bersedekap tapi melepaskannya (berdiri dengan sikap sempurna).
1)   Bersedekap:
Keterangan untuk pendapat pertama, yaitu kembali meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri. Hal ini berdasarkan nash di bawah ini:
181. "Ia (Wa-il bin Hujr) berkata: "Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau berdiri dalam shalat, beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya." (HR. An-Nasa’i)
182. "Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata dari Malik, ia berkata dari Abu Hazm, ia berkata dari Sahl bin Sa'd ia berkata: "Adalah orang-orang (para sahabat) diperintah (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) agar seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam shalat." (HR. Bukhari)
Komentar dari Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baaz (termaktub dalam fatwanya yang dimuat dalam majalah Rabithah 'Alam Islamy, edisi Dzulhijjah 1393 H/Januari 1974 M, tahun XI):
183. "Dari hadits shahih ini ada petunjuk diisyaratkan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri ketika seorang Mushalli (orang yang shalat) tengah berdiri baik sebelum ruku' maupun sesudahnya. Karena Sahl menginformasikan bahwa para sahabat diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam shalat. Dan sudah dimengerti bahwa sunnah (Nabi) menjelaskan orang shalat dalam ruku' meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan kedua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud, begitu pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya dan lututnya dengan dalil masing-masing secara rinci. Dalam rincian sunnah tersebut tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwasanya maksud dari hadits Sahl diatas adalah disyari'atkan bagi Mushalli ketika berdiri dalam shalat agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik berdiri sebelum ruku' maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keduanya, oleh karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah menunjukkan dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh: "asal dari ibadah adalah haram kecuali ada penunjukannya" -per.)

2) Berdiri Dengan Sikap Sempurna (Berdiri Lurus):
Pendapat kedua, yaitu tidak bersedekap tapi melepaskannya (berdiri dengan sikap sempurna), berdasarkan hadits:
184. "Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata tempatnya]." (dalam riwayat lain disebutkan: "Jika kamu berdiri i'tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya)." (HR. Bukhari dan Muslim, dan riwayat lain oleh Ad-Darimi, Al-Hakim, Asy-Syafi'i dan Ahmad)
185. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah, Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia tidak mau melihat shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya ketika berdiri di antara ruku’ dan sujudnya (i’tidal, pent.) (HR. Ahmad dan Thabarani, shahih)
186. Dari 'Aisyah: “Apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, maka dia tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu (HR. Muslim)
187. Dari Ibnu Atha’, ia berkata, “Aku mendengar Abu Humaid berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat…kemudian beliau I’tidal sampai semua tulangnya kembali ke tempat semula.” (HR. Ibnu Hibban)
b)   Thuma’ninah Dan Memperlama I’tidal
188.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri terkadang dikomentari oleh sahabat: "Dia telah lupa" [karena saking lamanya berdiri]. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
189.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya, juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

c) Bacaan I’tidal
Ketika bangkit dari rukuk, seorang yang sedang shalat diperintahkan membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya), baik dia sebagai imam maupun makmum. Lalu apabila dia telah berdiri lurus (i'tidal), maka dia membaca Rabbana wa Laka al-Hamdu (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian) atau Allahuma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian), yaitu berdasarkan hadits:
190. Dari Abu Hurairah: “Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya) ketika mengangkat punggungnya dari rukuk. Kemudian ketika berdiri, beliau membaca Rabbana wa Laka al-Hamdu (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian).” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
191. Dari Anas: “Dan apabila imam membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya), maka katakanlah: Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian).” (HR. Bukhari)
192. Dari Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Ahmad dan lain-lain, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila imam membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya), maka katakanlah: Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian). Barangsiapa bacaannya bersamaan dengan bacaan malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Al-Bukhari, bab Adzan, pasal Keutamaan Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu)
Bacaan yang diperintahkan ketika i'tidal, sekurang-kurangnya adalah tahmid (Rabbana wa Laka al-Hamdu). Dan kalau mungkin, disunnahkan ditambah dengan bacaan-bacaan yang antara lain ditunjukkan dalam hadits berikut:
Bacaan 1:
193. Dari Ubaid bin al-Hasan dari Abu Aufa, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ mengucapkan, sami’ allahu liman hamidah,

“RABBANA LAKAL HAMDU MIL US SAMAAWAATI WA MIL-UL-ARDHI WA MIL’U MAA SYI’TA MIN SYAI-IN BA’DU”
[Artinya]: “Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala puji, sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki sesudah itu.” (Musnad al-Mustkhraj ‘ala shahih Muslim)
Bacaan 2:
194. Dari Rafi', sesungguhnya ia berkata, "Pada suatu hari kami shalat di belakang Rasulullah maka tatkala beliau bangkit dari ruku', beliau mengucapkan:

“SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH”
[Artinya]: “Allah mendengar orang yang memujinya
Kemudian ada seorang laki-laki di belakang beliau yang membaca:

‘RABBANA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI’
[Artinya]: “Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala pujian yang banyak, yang baik dan yang ada barakah di dalamnya.

Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai mengerjakan shalat, beliau bertanya, "Siapa yang tadi membaca doa." Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya!’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Saya melihat 37 Malaikat tergopoh-gopoh untuk segera menjadi penulis yang pertama’." (Shahih Ibnu Khuzaimah).

Bacaan 3:
195. Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun dari ruku’ (i'tidal) beliau mengucapkan:
“RABBANA LAKAL HAMDU MIL'US SAMAWATI WAL ARDHI WA MIL'U MA SYI'TA MIN SYAI'IN BA'DU. ALLAHUMMA LA MANI'A LIMA A'THAITA WALA MU'THIYA LIMA MANA'TA WA LA YANFA'U DZAL JADDI MINKAL JADDU”
[Artinya]: “Ya Allah, bagi Engkaulah segala puja dan puji, sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang engkau kehendaki. Ya Allah Tak ada yang mampu menghalangi apa yang akan Engkau berikan dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang Engkau larang dan tidaklah kekayaan itu dapat menolong yang empunya kecuali seizin Engkau.” (HR. Muslim)

10. Turun Untuk Sujud

196.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan turun untuk sujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).
197. Perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang shalatnya salah, sebagaimana sabdanya kepadanya: “Shalat seseorang tidak sempurna sebelum mengucapkan ‘sami’allaahu liman hamidah’ sampai ia berdiri dengan tegak, kemudian mengucapkan ‘allaahu akbar’, kemudian sujud sampai ruas tulang belakangnya kembali mapan.” (HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi)
198.Bila hendak sujud Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan takbir [dan beliau merenggangkan tangannya dari lambungnya], kemudian sujud.” (HR. Abu Ya’la dengan sanad jayyid dan Ibnu Hibban dengan sanad lain yang shahih)
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai apa yang terlebih dahulu harus diturunkan ketika hendak sujud, yaitu apakah tangan yang terlebih dahulu ataukah lutut.

a) Pendapat Pertama: Tangan Terlebih Dahulu Sebelum Lutut
            Para fuqaha yang berpendapat bahwa tangan terlebih dahulu sebelum lutut di antaranya adalah: Al-Hadawiyah, Imam Malik menurut sebagian riwayat dan Al-Auza‘i.
199.Apabila kamu sujud, maka jangan meletakkan lutut terlebih dulu seperti anak unta, namun letakkanlah kedua telapak tangan sebelum kedua lutut.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Bukhari, Ath-Thahawi, Ad-Daruqutni, Hadzimi, Baihaqi, Ibnu Hazim dan Baghawi, dengan sanad shahih)
Para fuqaha yang berpendapat bahwa lutut terlebih dahulu sebelum tangan, menolak pendapat yang mengatakan bahwa tangan yang diletakkan terlebih dahulu sebelum lutut, karena menurut anggapan mereka hadits yang digunakan ada masalah. Karena dalam matannya ada ketidak konsistenan. Yaitu disebutkan bahwa jangan duduk seperti duduknya unta, lalu diteruskan dengan perintah untuk meletakkan tangan terlebih dahulu. Hal ini justru bertentangan. Karena unta itu bila duduk, justru kaki depannya terlebih dahulu baru kaki belakang. Sedangkan perintahnya jangan menyamai unta, artinya seharusnya kaki terlebih dahulu baru tangan.
Ketidak-konsistenan ini dikomentari oleh Ibnul Qayyim bahwa ada kekeliruan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ini. Yaitu terbaliknya perintah, seharusnya bunyi perintahnya adalah untuk meletakkan lutut terlebih dahulu baru tangan. Dan kemungkinan terbaliknya suatu lafal dalam hadits bukan hal yang tidak mungkin.
200. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa ia meletakkan kedua tangannya dulu (ketika akan sujud) sebelum kedua lututnya dan ia (Ibnu Umar) berkata: “Demikianlah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. Ad-Daruqutni, Ath-Thahawi, Ibnu Khuzaimah, Al-Bukhari, Al-Hadzimi, Al-Hakim. Dishahihkan oleh Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi).
201. Al-Auza’i berkata: “Kami melihat sahabat meletakkan kedua tangan mereka sebelum menurunkan lutut mereka” (HR. Al-Marwadzi, hadits shahih)
b) Pendapat Kedua: Lutut Terlebih Dahulu Sebelum Tangan
Sedangkan para fuqaha yang berpendapat bahwa lutut terlebih dahulu sebelum tangan di antaranya adalah: madzhab Imam Abu Hanifah dan madzhab Imam Asy-Syafi‘i serta menurut sebagian riwayat madzhab Imam Malik.
202. Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan ketika bangkit dari sujud mengangkat kedua tangannya terlebih dahulu sebelum kedua lututnya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ad-Darimi, Ad-Daruqutni, Ath-Thahawi, Ath-Thabarani, Al-Hadzimi, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Baghawi dan Ibnu Hibban)
Menurut Ad-Daruqutni: Dalam periwayatannya Yazid sendirian, dan tidak menyampaikan hadits dari ‘Ashim bin Kalib selain Syarik, dan Syarik bukan termasuk perawi yang kuat.
Menurut Al-Baihaqi: Hadits ini termasuk hadits yang diriwayatkan secara ifradh oleh Syarik Al-Qadhi. Dan menurut Ibnu ‘Arabi dalam Kitab ‘Aridhah Al-Ahwadzi bahwa hadits ini gharib (asing tidak pernah didengar)
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Baihaqi dari sanad lain diketahui bahwa ada sanad yang terputus antara Abdul Jabar dan Ayahnya, ia tidak pernah mendengar hadits ini.
203. Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kamu sujud, hendaknya mulai dengan kedua lutut sebelum kedua tangannya, jangan menjatuhkan diri seperti kuda jantan” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ath-Thahawi dan Al-Baihaqi)
Dalam sanad hadits tersebut terdapat nama Abdullah bin Said, dia seorang rawi yang lemah, bahkan menurut Yahya Al-Qathan dia pendusta. Menurut Ahmad bin Hambal hadits yang diriwayatkannya munkar dan matruk. Menurut Ibnu Addi’ kebanyakan yang ia riwayatkan jelas kedhaifannya, dan menurut Iman Ad-Daruqutni hadits yang diriwayatkannya matruk (bagian dari hadits dhaif). Dan menurut Ibnu Hibban ia (Abdullah bin Said) membalik hadits di atas agar sampai ke hati pembacanya bahwa dia sengaja melakukannya, dan menurut Ibnu Hajar dalam kitab At-Taqrib, hadits ini matruk derajatnya.
204. Dari Abu Hurairah, “Bahwa apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sujud, beliau memulainya dengan dua lutut sebelum kedua tangannya.” (HR. Ath-Thahawi)
Karena dalam hadits tersebut terdapat Abdullah bin Said dan ia pelupa dalam hadits, serta kemungkinan dialah yang memutarbalikkan hadits ini. Diriwayatkan Ibnu Hambal bahwa ia dengan sengaja membalikkan hadits ini agar pembaca mengetahuinya.
205. Dari Mush’ab bin Sa’ad, dari ayahnya, ia berkata:
Kami meletakkan kedua tangan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, lalu Rasul memerintahkan kami untuk meletakkan kedua lutut terlebih dahulu sebelum kedua tangan.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi)
Dalam sanad hadits ini ada Ismail bin Yahya bin Salamah, sedangkan ia seorang perawi yang matruk seperti diterangkan dalam kitab At-Taqrib, demikian juga anaknya yaitu Ibrahim seorang perawi yang dhaif
Ibnu Qayyim sendiri menganggap hadits ini dhaif dengan perkataannya: Dalam hadits ini ada dua kelemahan (cela):
Pertama: karena diriwayatkan oleh Yahya bin Salamah bin Kuhail, dan menurut An-Nasa’i perawi itu matruk. Menurut Ibnu Hibban, hadits ini sangat munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Ibnu Ma’in, tidak ada apa-apanya.
Kedua: hadits yang dihafal dari riwayat Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya adalah cerita tentang penerapan, dan ucapan Sa’ad: kami melakukan hal itu, maka Rasulullah memerintahkan kami untuk meletakkan kedua tangan kami sebelum lutut.
206. Dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tergesa dalam membaca takbir sampai kedua lututnya mendahului kedua tangannya dalam turun ketika sujud.” (HR. Al-Hakim, Ad-Daruqutni, Al-Baihaqi, Ibnu Hazm dan Al-Hadzimi, hadits dhaif)
Menurut Ad-Daruqutni yang diikuti juga oleh Al-Baihaqi, Ala’ bin Ismail sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Hafs. Menurut Al-Hafizh dalam kitab At-Talkish dan Al-Baihaqi dalam kitab Al-Ma’rifah: Ala’ sendiri dan ia perawi yang majhul dan dalam kitab Lisanul Mizan, ia berpendapat bahwa Ala’ ditentang oleh Umar bin Hafs bin Ghiyas.   Ia adalah orang yang paling tepat dari ayahnya, dan diriwayatkan oleh ayahnya dari A’masi dari Ibrahim, dari ‘Alqamah dan lainnya dari Umar secara mauquf, dan hadits ini yang diingat.
Dalam kitab Ibnu Abi Hatim, Abu Hatim berpendapat: Hadits ini munkar karena terdapat cela.
Hadits ini dianggap Ibnu Qayyim dhaif dengan ucapannya: Abdurrahman bin Abi Hatim berkata: aku bertanya pada ayahku tentang hadits ini, ayahku menjawab: hadits ini munkar. Hadits ini munkar menurutnya karena diriwayatkan oleh Ala’ bin Ismail Al-Athar dari Hafs bin Ghiyas, sedangkan Ala’ adalah perawi yang majhul. Namanya tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits.

11. Sujud
Ketika sujud, antara dahi dan tempat sujud tidak boleh ada penghalang, baik rambut maupun pakaian. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
207. Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh sujud dengan tujuh anggota badan, beliau melarang melapisi dahinya dengan rambutnya atau pakaiannya.” (HR. Syafi’i; hadits senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain)

a)   Anggota Sujud
Para Ulama berbeda pendapat mengenai anggota sujud. Secara garis besar pendapat mereka dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok:
1)   Anggota Sujud Ada 7 (Tujuh)
Yaitu kedua tangan, kedua lutut, kedua ujung-ujung jari kaki, dan dahi. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
208. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sujud ditopang oleh oleh tujuh anggota badan, yaitu kedua tangan, kedua lutut, ujung jari jari kaki dan dahi." (HR Syafi'i; Hadis senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain)
Dari hadits di atas disimpulkan bahwa anggota sujud ada tujuh, yaitu kedua telapak kaki, kedua lutut, kedua telapak tangan, dan dahi.
2)   Anggota Sujud Ada 8 (Delapan)
Yaitu ketujuh anggota di atas ditambah hidung. Ini adalah menurut pendapat Imam Malik berdasarkan praktek beberapa sahabat, seperti dikatakan Al-Aza' i dan Said bin Abdul Aziz:
209.Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Ikrimah dan Abdurrahman bin Abu Laila, mereka semua memerintahkan sujud dengan menyertakan hidung.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Kalau Imam Malik menjadikan ujung hidung sebagai salah satu anggota sujud, Imam Syafi’i hanya menganggapnya sunnah [Asy-Syafi’i, Al-Umm].
210. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Tidak sah shalat seseorang bila hidung dan dahinya tidak menekan” (HR. Ad-Daruqutni, Thabarani dan Abu Nu’aim)
b)   Cara Sujud
1) Bersujud Pada 7 Anggota Badan, Yakni Kening Dan Hidung (1), Dua Telapak Tangan (3), Dua Lutut (5) Dan Dua Ujung Kaki (7)
211. Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Aku diperintah untuk bersujud (dalam riwayat lain; kami diperintah untuk bersujud) dengan (7) anggota badan; yakni kening sekaligus hidung, dua tangan (dalam lafadhz lain; dua telapak tangan), dua lutut, jari-jari kedua kaki dan kami tidak boleh menyibak lengan baju dan rambut kami. (HR. Al-Jama’ah)
212. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bila seseorang sujud, hendaklah menyertakan tujuh anggota badannya, yaitu wajahnya, kedua telapak tangannya, kedua lututnya, dan kedua kakinya.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban)
2)   Dilakukan Dengan Menekan.
       213.Apabila kamu sujud, sujudlah dengan menekan” (HR. Ahmad).
214.Beliau bersujud dengan bertumpu pada kedua telapak tangannya dan melebarkannya sama rata.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
215.Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menekankan kedua lututnya dan bagian depan telapak kaki ke tanah.” (HR. Al-Baihaqi dengan sanad shahih, Ibnu Abi Syaibah dan Siraj, dishahihkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi).
216.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menekankan hidung dan dahinya ke tanah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Malaqqan)
217.Apabila engkau sujud, tekanlah wajahmu dan kedua tanganmu ke tanah sehingga setiap ruas tulangmu kembali ke tempatnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, dengan sanad hasan)
218. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Tidak sah shalat seseorang bila hidung dan dahinya tidak menekan” (HR. Ad-Daruqutni, Thabarani dan Abu Nu’aim)
219.Beliau menempelkan dan mengokohkan kedua lututnya serta ujung-ujung jari kedua kakinya.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)

3)   Kedua Lengan/Siku Tidak Ditempelkan Pada Lantai, Tapi Diangkat Serta Dijauhkan Dari Sisi Rusuk/Lambung
220. Dari Anas bi Malik, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Luruslah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lenganmu seperti anjing menghamparkan kakinya.” (HR. Al-Jama’ah kecuali An-Nasa’i, lafadhz ini bagi Bukhari).
221.Apabila kamu sujud, letakkanlah telapak tanganmu dan angkatlah siku lenganmu” (HR. Muslim dan Abu Awanah)
222. Dari Abu Humaid As-Sa’diy bahwasanya, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila sujud maka menekankan hidung dan dahinya di tanah serta menjauhkan kedua tangannya dari dua sisi perutnya, tangannya di taruh sebanding dua bahu beliau” (HR. At-Tirmidzi)
223.Beliau mengangkat kedua lengannya dari lantai dan menjauhkannya dari lambungnya sehingga warna putih ketiaknya terlihat dari belakang” (HR. Bukhari dan Muslim).
224.Bahkan sekiranya anak kambing kecil lewat di sela-sela ketiaknya, niscaya ia dapat melaluinya.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban)
4)   Menjauhkan Perut/Lambung Dari Kedua Paha
225. Dari Abi Humaid tentang sifat shalat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, ia berkata:“Apabila dia sujud, beliau merenggangkan antara dua pahanya (dengan) tidak menopang perutnya.” (HR. Abu Dawud).
226.Beliau menempelkan dan mengokohkan kedua lututnya serta ujung-ujung jari kedua kakinya.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)
5)   Meletakkan Tangan Sejajar Bahu Dan Kadang-Kadang Sejajar Daun Telinga Serta Melebarkannya Sama Rata
227.Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan bahunya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Mulaqqan)
228. Dari Abu Humaid As-Sa’diy bahwasanya, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila sujud maka menekankan hidung dan dahinya di tanah serta menjauhkan kedua tangannya dari dua sisi perutnya, tangannya di taruh sebanding dua bahu beliau” (HR. At-Tirmidzi)
229.Terkadang beliau meletakkan tangannya sejajar dengan daun telinganya.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan sanad shahih)
230.Beliau bersujud dengan bertumpu pada kedua telapak tangannya dan melebarkannya sama rata.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)

6)   Merapatkan Jari-Jemari Dan Mengarahkannya Ke Kiblat

231.
Dari Wail bin Hujr bahwasanya, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jika sujud maka merapatkan jari-jemarinya.” (HR. Al-Hakim).
232.Saat bersujud, beliau menempelkan (merapatkan) jari-jari kedua telapak tangannya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Baihaqi dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi)
233.Beliau mengarahkan jari-jari kedua tangannya ke arah kiblat.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)

7)   Menegakkan Kedua Telapak Kaki, Menghadapkan Punggung Kedua Kaki Dan Ujung Jari Kaki Ke Kiblat Serta Saling Merapatkan/Menempelkan Kedua Tumit
234. Berkata Aisyah istri Nabi shallallaahu alaihi wa sallam: “Aku kehilangan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam padahal beliau tadi tidur bersamaku, kemudian aku dapati beliau tengah sujud dengan merapatkan kedua tumitnya (dan) menghadapkan ujung-ujung jarinya ke kiblat, …” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah).
235.Beliau menghadapkan [punggung kedua kakinya dan] ujung-ujung jari kaki ke kiblat.” (HR. Al-Bukhari, dan Abu Dawud)
236.Beliau menegakkan telapak kakinya.” (HR. Baihaqi, dengan sanad shahih).
237.Beliau merapatkan tumitnya” (HR. Ath-Thahawi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim, dishahihkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi)
238. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, ia berkata, “Di antara sunnah shalat adalah menghadapkan jari-jari kaki ke arah kiblat.” (HR. An-Nasa’i dengan sanad shahih)
8)   Thuma’ninah Dan Memperlama Sujud
Sebagaimana rukun shalat yang lain yang mesti dikerjakan dengan thuma’ninah, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kalau sujud biasanya juga lama.
239.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya, juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
240. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kemudian sujudlah sampai tenang sujudnya.” (HR. Sab’ah)

c)   Bacaan Ketika Sujud
       Lafal yang dibaca ketika sujud telah ditentukan sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi‘i yaitu: “Subhana Rabbial A’la” (3x). Menurut pendapat mereka, tidak boleh membaca selain ini karena bacaan untuk ruku‘ dan sujud atau tauqifi, sudah merupakan ketetapan yang baku. Pendapat mereka di dasarkan pada dalil hadits:
241. Dari ‘Uqbah bin Amir, dia berkata: ”Ketika turun ayat (Fasabbih bismi rabbikal ‘adzhim), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami,”Jadikanlah ayat itu bacaan dalam ruku‘mu. Dan ketika turun ayat (Sabbihisma rabbikal a‘laa) beliau berkata,”Jadikanlah ayat itu bacaan dalam sujudmu.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim, al-Baihaqi, Ad-Darimi)
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa lafal untuk ruku‘ dan sujud tidak ada lafal yang baku. Sebagaimana pengertian dalil yang dipahami beliau:
242. Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Quran dalam ruku‘ dan sujud. Dalam ruku‘, (ta‘dzhimkan) agungkanlah Rabbmu dan dalam sujud (bertasbihlah) sucikanlah rabbmu.” (HR Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, Al-Baihaqi, Ahmad)
            Bacaan sujud ada beberapa versi, dan kesemuanya boleh dijadikan sebagai bacaan sujud, karena bacaan tersebut memiliki dasar-dasar yang kuat dari hadits yang berbeda-beda, di antaranya adalah:
Bacaan 1:
243. Dari Hudzaifah, ia berkata: “Saya shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam…maka ketika sujud beliau mengucapkan:
“SUBHAANA RABBIYAL A’LA” 3x
[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhanku Yang Maha Tinggi” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Bacaan 2:

244. Dari Uqbah bin Amir, ia berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud, beliau mengucapkan:

“SUBHAANA RABBIYAL A’LA WA BIHAMDIHI” 3x

[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhanku Yang Maha Tinggi, dan aku sujud’ dengan memuji-Mu” (HR. Abu Dawud, Ad-Daruqutni, Ahmad dan Baihaqi)

Bacaan 3:

245. Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata: “Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam ruku’ dan sujudnya mengucapkan,

“SUBHANAKALLAHUMMA RABBANAA BIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII”

[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhan kami, dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

d)   Memperbanyak Do’a Ketika Sujud

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia sedang sujud dalam shalat, sebab sujud merupakan simbol ketundukan yang tertinggi seorang hamba kepada Tuhannya.

246. Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:“Hamba yang paling dekat dekat kepada Rabb-nya adalah hamba yang bersujud. Oleh karena itu perbanyaklah do’a di dalam sujud.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi)
247. Dalam kaitan dengan sujud ini, Thahir Abu Faasha melantunkan sebuah syair: “Wahai Tuhanku! Wujud ini telah membuatku rindu, padahal ia hanya dunia-Mu. Lalu, bagaimana kelak dengan akhirat-Mu? Nilaiku di sisi-Mu terletak dalam sujud kehinaan, namun jika Engkau ridha maka aku tidak membutuhkan kekayaan.
248. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perbanyaklah do’a di dalam sujud. Karena kemungkinan diterimanya akan lebih.” (HR. Muslim, hadits shahih).
249. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…dan dalam sujud berijtihadlah dengan berdo’a. Maka sewajarnya do’a tersebut dikabulkan.” (HR. Muslim).
Berkaitan dengan lafal do’a dalam sujud, para ulama berbeda pendapat, apakah lafalnya harus dari ayat-ayat Al-Quran ataukah boleh ‘karangan’ sendiri.
Imam Abu Hanifah mensyaratkan lafal itu harus berasal dari ayat-ayat Al-Quran. Sedangkan Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa lafal do’anya boleh dari selain Al-Quran.
Namun apakah boleh dengan bahasa masing-masing? Bila mengacu pada sakralisme shalat, cenderung tidak dibenarkan. Kalaupun membuat redaksi sendiri, maka harus dengan bahasa arab yang benar dan lafal do’a itu sendiri harus senafas dengan tertib dan aturan do’a. Jadi tidak boleh dalam berdo’a kita malah berpuisi atau bersajak semau kita.

12. Bangkit Dari Sujud Menuju Duduk Di Antara Dua Sujud
250.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari sujudnya seraya bertakbir” (HR. Bukhari dan Muslim)
251.Tidak sempurna shalat seseorang hingga…, dia sujud sampai ruas tulang belakangnya mapan, kemudian mengucapkan Allahu Akbar, kemudian bangkit dari sujud sampai duduk dengan tegak” (HR. Abu Dawud dan Hakim)

13. Duduk Di Antara Dua Sujud

Duduk ini dilakukan antara sujud yang pertama dan sujud yang kedua, pada raka’at pertama sampai terakhir.

a)   Cara Duduk Di Antara Dua Sujud
Ada dua macam cara duduk di antara dua sujud, yaitu duduk Iftirasy dan duduk Iq’a.
1)   Duduk Iftirasy
Yaitu: Duduk dengan melipat kaki kiri, meletakkan pantat di atas kaki kiri, menegakkan telapak kaki kanan serta menghadapkan jari-jari kaki kanan ke arah kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.
252. Dari Abu Humaid As-Saidi, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila duduk di antara dua sujud, beliau melipat kaki kirinya dan mendudukinya serta menegakkan telapak kaki kanannya.” (HR. Imam Syafi’i)
253. Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata: "Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghamparkan kaki beliau yang kiri dan menegakkan kaki yang kanan, beliau melarang dari duduknya syaithan." (HR. Ahmad dan Muslim)

* Komentar Syaikh Al-Albani: duduknya syaithan adalah dua telapak kaki ditegakkan kemudian duduk di lantai antara dua kaki tersebut dengan dua tangan menekan dilantai.
254. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang shalatnya salah:
"Apabila engkau sujud, sujudlah dengan menekan, dan apabila engkau bangkit dari sujud, duduklah kamu di atas betis kirimu." (HR. Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad jayyid)
255.Beliau membentangkan kaki kirinya, lalu duduk di atasnya dengan tenang.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Muslim dan Abu ‘Awanah)
256.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan kaki kanannya.” (HR. Bukhari dan Baihaqi)
257. “Beliau menghadapkan jari-jari kaki kanannya ke arah kiblat.” (HR. An-Nasa’i, shahih)

2)   Duduk Iq’a
Yaitu: Duduk dengan menegakkan kedua telapak kaki dan duduk di atas tumit.
258.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang duduk iq'a, yakni [duduk dengan menegakkan telapak dan tumit kedua kakinya].” (HR.Muslim, Abu ‘Awanah dan Abu Asy-Syaikh)

b)   Thuma’ninah
259.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk antara dua sujud dengan thuma’ninah sehingga ruas tulang belakangnya kembali pada tempatnya.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi, shahih)
260. Dan beliau memerintahkan berbuat demikian kepada orang yang shalatnya salah, sebagaimana sabdanya: “Tidak sempurna shalat seseorang di antara kamu sampai dia berbuat demikian” (HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan olehnya dan disetujui oleh Dzahabi).
261. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kemudian bangunlah dari sujud sampai duduknya tenang.” (HR. Sab’ah)
262.Beliau melamakan duduknya hingga hampir sama lamanya dengan sujudnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
263.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya, juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
264.Terkadang beliau diam lama sampai ada orang yang menyangka beliau lupa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c)   Bacaan Ketika Duduk Di Antara Dua Sujud

Berdasarkan hadits yang ada, terdapat beberapa macam bacaan saat duduk di antara dua sujud, di antaranya adalah:

Bacaan 1:

265. Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk di antara dua sujud, beliau mengucapkan:

"ALLAHUMMAGHFIRLII, WARHAMNII, WAJBURNII, WAHDINII, WARZUQNII"

[Artinya]: “Ya Allah, ampunilah aku, sayangilah aku, cukupkanlah aku, tunjukkanlah aku dan berilah aku rezeki.” (H.R. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Bacaan 2:

266. Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya dari sujud beliau mengucapkan:

“RABBIGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WAR FA'NII WARZUGNII WAHDINII"

[Artinya]: “Ya Allah! Ampunilah aku, kasihilah aku, cukupkanlah aku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki dan tunjukkanlah aku.” (HR. Baihaqi)

Bacaan 3:

“RABBIGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WAR FA'NII WARZUGNII WAHDINII WA ‘AAFINII WA' FU‘ANNI"

[Artinya]: “Ya Allah! Ampunilah aku, kasihilah aku, cukupkanlah aku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki dan tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan ampunilah aku.

Doa ini dirumuskan ulama berdasarkan beberapa hadits yang ada. Di antaranya berdasar hadits pada bacaan-2 di atas yang memerintahkan berdoa dengan:

“RABBIGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WARFA'NII WARZUQNII WAHDINII"

Kemudian dilengkapi oleh ulama dengan bacaan:

“WA‘AAFINII WA' FU‘ANNII”

[Artinya]: “Dan sehatkanlah aku dan ampunilah aku.”

Penambahan ini berdasarkan pada suatu hadits yang sebenarnya tidak berkaitan dengan duduk di antara dua sujud, tetapi terkait dengan jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang Badui yang bertanya tentang doa yang harus ia baca ketika shalat karena ia tidak dapat membaca Al-Qur'an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

“RABBIGHFIRLII WARHAMNII WAHDINII WA‘AAFINII WAJBURNII"

[Artinya]: “Ya Allah ampunilah aku, sayangilah aku, tunjukilah aku, sehatkanlah aku, dan berilah aku rezeki.” (Shahih Ibnu Khuzaimah)

Ditinjau redaksinya, maka keterkaitannya dengan bacaan duduk di antara dua sujud sangat mirip, hanya saja pada bacaan duduk di antara dua sujud para perawi tidak mencantumkan kata wa aafinii. Maka kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan bacaan ini diucapkan dalam shalat, tentu saja tidak ada salahnya kalau lafal wa-aafini ditambahkan pada doa tersebut.

Adapun penambahan wa'fu ‘anni, terdapat dalam hadits yang konteksnya sama, tetapi perawinya menyebutkan wa' fu ‘anni. Yaitu hadits yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi. Sehingga lengkapnya doa tersebut sebagai berikut:

“RABBIGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WAR FA'NII WARZUGNII WAHDINII WA ‘AAFINII WA' FU‘ANNI"

14. Sujud Yang Kedua
Sujud yang kedua ini sama seperti sujud yang pertama, baik dalam hal tata caranya maupun dalam hal bacaannya.
267.Beliau mengucapkan takbir, lalu bersujud untuk sujud yang kedua kalinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
268.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan sujud yang kedua dengan thuma’ninah hingga tulang-tulang persendiannya menjadi tenang. Sikap seperti ini dilakukan di setiap shalat.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dengan tambahan riwayat dari Bukhari dan Muslim)
15. Bangkit Dari Sujud Menuju Raka’at Berikutnya

Setelah mengangkat kepala dari sujud yang kedua, dan hendak bangkit ke raka’at berikutnya, maka wajib mengucapkan takbir.
269.Kemudian beliau mengangkat kepalanya, lalu bertakbir.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
270.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari duduknya mengucapkan takbir, kemudian berdiri.” (HR. Abu Ya’la dengan sanad jayyid)
271.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit berdiri untuk melakukan raka’at ketiga sambil bertakbir.” (HR. Bukhari dan Muslim)
272.Begitu juga apabila beliau hendak berdiri pada raka’at keempat, maka beliau mengucapkan takbir Allahu Akbar.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

a)   Duduk Istirahat

Para Ulama telah sepakat, bahwa duduknya orang yang shalat setelah bangkit dari sujud kedua pada raka’at pertama dan ketiga, yakni sebelum berdiri ke raka’at kedua dan keempat (duduk istirahat), tidak termasuk kewajiban shalat, tidak pula termasuk sunnah muakkadah. Kemudian ada perbedaan pendapat, apakah hukumnya sunnah saja atau memang tidak termasuk kewajiban shalat sama sekali, atau boleh dilakukan oleh yang membutuhkannya karena fisiknya lemah akibat usia lanjut atau karena sakit atau fisiknya yang tidak fit.

Yang berpendapat bahwa duduk istirahat tersebut hukumnya adalah sunnah adalah Imam Asy-Syafi’i., ulama Kuffah dan sejumlah ahli hadits, demikian juga menurut salah satu pendapat Imam Ahmad, yaitu berdasarkan hadits:
273. Dari Malik bin Huwairits bahwasanya,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat, maka bila pada raka’at yang ganjil tidaklah beliau bangkit sampai duduk terlebih dulu dengan lurus.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Yang berpendapat bahwa duduk istirahat tersebut tidak termasuk kewajiban shalat sama sekali, di antaranya adalah: Abu Hanifah, Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka menyatakan bahwa karena hadits-hadits lainnya tidak menyebutkan adanya duduk istirahat tersebut, maka kemungkinannya adalah; bahwa yang disebutkan dalam hadits Malik bin Al-Huwairits tentang duduk tersebut adalah di akhir hayat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika fisik beliau telah lemah atau karena sebab lain.
Dan pendapat ketiga, yaitu menggabungkan antara hadits-hadits yang ada; bahwa duduk istirahat tersebut boleh dilakukan oleh yang membutuhkannya karena fisiknya lemah akibat usia lanjut atau karena sakit atau fisiknya yang tidak fit.
Kelompok ini mengatakan, bahwa duduk istirahat tersebut disyariatkan saat dibutuhkan saja (hukumnya mustahab). Tidak disebutkannya duduk istirahat tersebut dalam hadits-hadits lainnya bukan berarti bahwa duduk istirahat itu tidak mustahab, melainkan hanya untuk menunjukkan bahwa duduk istirahat itu tidak wajib.
Pendapat kelompok ini, dikuatkan dengan dua hal:
Pertama: Bahwa pada dasarnya perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu adalah persyariatan untuk diikuti.
Kedua: Tentang duduk istirahat tersebut yang disebutkan dalam hadits Abu Humaid As-Saidi, yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad jayyid, yang mana dalam hadits tersebut disebutkan tentang sifat shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti itu (duduk istirahat) kepada sepuluh orang sahabat, dan mereka membenarkannya.
b)   Cara Bangkit Dari Sujud
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai apa yang terlebih dahulu harus diangkat ketika bangkit dari sujud, yaitu apakah tangan yang terlebih dahulu ataukah lutut.
1)   Tangan Terlebih Dahulu Sebelum Lutut
Para fuqaha yang berpendapat bahwa tangan terlebih dahulu sebelum lutut di antaranya adalah: madzhab Imam Abu Hanifah dan madzhab Imam Asy-Syafi‘i serta menurut sebagian riwayat madzhab Imam Malik.
274. Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan ketika bangkit dari sujud mengangkat kedua tangannya terlebih dahulu sebelum kedua lututnya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ad-Darimi, Ad-Daruqutni, Ath-Thahawi, Ath-Thabarani, Al-Hadzimi, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Baghawi dan Ibnu Hibban)
Menurut Ad-Daruqutni: Dalam periwayatannya Yazid sendirian, dan tidak menyampaikan hadits dari ‘Ashim bin Kalib selain Syarik, dan Syarik bukan termasuk perawi yang kuat.
Menurut Al-Baihaqi: Hadits ini termasuk hadits yang diriwayatkan secara ifradh oleh Syarik Al-Qadhi. Dan menurut Ibnu ‘Arabi dalam Kitab ‘Aridhah Al-Ahwadzi bahwa hadits ini gharib (asing tidak pernah didengar)
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Baihaqi dari sanad lain diketahui bahwa ada sanad yang terputus antara Abdul Jabar dan Ayahnya, ia tidak pernah mendengar hadits ini.

2)   Lutut Terlebih Dahulu Sebelum Tangan & Bertumpu Pada Bumi
275. Imam Malik bin Huwairits berkata kepada para sahabat, “Bukankah aku telah menyampaikan hadits tentang shalat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Setelah itu ia mencontohkannya. Ketika mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua pada raka’at pertama, beliau duduk. Setelah itu bangun dengan bertumpu pada bumi.” (HR. An-Nasa’i, Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi, dengan sanad shahih)
Imam Asy-Syafi’i setelah menguraikan hadits Malik bin Huwairits berkata, “Kami mengambil pendapat dari hadits ini. Maka kami memerintahkan orang yang bangun dari sujud atau duduk dalam shalat untuk bertumpu dengan kedua tangannya secara bersamaan, mengikuti sunnah.”
276.Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit ke raka’at kedua dengan tangan bertumpu ke tanah.” (HR. Asy-Syafi’i dan Bukhari)
277.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan ‘ajn ketika shalat, yaitu berdiri ke raka’at berikutnya bertumpu pada kedua tangannya.” (HR. Abu Ishaq Al-Harbi dengan sanad shahih. Semakna dengan hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shahih)
278.Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum bangkit berdiri, terlebih dahulu beliau duduk istiwa’, …. Lalu beliau berdiri sambil bertumpu pada kedua telapak tangannya yang menekan tanah atau lantai.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
c)   Bangkit Dari Rakaat Kedua Menuju Ke Rakaat Ketiga
279. Dari Ibnu Umar: “Jika berdiri dari rakaat kedua, beliau mengangkat kedua tangannya.” (HR. Muttafaqun 'alaih)
280. Dari Abu Humaid: “Kemudian jika berdiri dari rakaat kedua, beliau membaca takbir seraya mengangkat kedua tangannya sampai mendekati (sejajar dengan) kedua pundaknya sebagaimana bertakbir pada saat iftitah shalat.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

16. Tasyahud Awal Dan Tasyahud Akhir
Tasyahud Awal adalah duduk setelah sujud kedua pada raka’at kedua. Sedangkan Tasyahud Akhir adalah duduk sebelum salam pada raka’at terakhir
a)   Cara Duduk Tasyahud Awal
Pada tasyahud awal, duduknya adalah secara Iftirasy, yaitu: duduk dengan melipat kaki kiri, meletakkan pantat di atas kaki kiri, menegakkan telapak kaki kanan serta menghadapkan jari-jari kaki kanan ke arah kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.
281.Beliau menjelaskan bahwa bila duduk dalam tasyahud awal, hendaklah dilakukan dengan thuma’ninah dan membentangkan paha kiri, lalu bertasyahud.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad jayyid)
282. Dari Abi Humaid As-Sa'idiy, dia berkata: "Maka apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di raka’at kedua (tasyahud awal) beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Dan apabila duduk di raka’at yang terakhir (tasyahud akhir), beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki (kaki kanan) dan duduk di atas tempat duduknya." (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

b)   Cara Duduk Tasyahud Akhir
Pada tasyahud akhir, duduknya adalah secara tawaruk, yaitu: duduk dengan menghamparkan kaki kiri ke samping kanan, mendudukkan pantat di atas lantai, menegakkan kaki kanan serta menghadapkan jari-jari kaki kanan ke arah kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafi’i.
283. Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata: “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalatnya, meletakkan kaki kirinya di antara paha dan betisnya, dan meluruskan posisi kaki kanannya tepat di atas paha kanannya sambil mengangkat jari telunjuknya.” (HR. Muslim)
284.Di dalam tasyahud akhir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan duduk tawaruk.” (HR. Bukhari)
285.Duduk tawaruk yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan cara membentangkan paha sebelah kiri di atas lantai, lalu mengeluarkan kedua telapak kaki dari arah yang sama.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)
286.Duduk tawaruk tersebut yaitu meletakkan kaki kiri di bawah paha dan betisnya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
287.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan kaki kanannya.” (HR. Bukhari)
288.Beliau terkadang membentangkannya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
c)   Letak Duduk Tasyahud Awal Dan Tasyahud Akhir Dalam Shalat Dua Raka’at
Para ulama berbeda pendapat tentang letak duduk tasyahud dalam shalat dua raka’at, seperti shalat Shubuh, shalat Jum’ah, dan shalat sunnah rawatib. Sebahagian ada yang menyatakan bahwa duduk yang harus dilakukan adalah duduk iftirasy sebagaimana halnya ketika duduk dalam tasyahud awal, karena duduk tersebut dilaksanakan di raka’at yang kedua.

1)   Duduk Iftirasy Di Raka’at Kedua Dan Dalam Shalat Dua Raka’at
289. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk tasyahud setelah raka’at kedua. Bila shalat yang dilakukannya hanya dua raka’at, seperti shalat Shubuh, beliau duduk iftirasy (HR. An-Nasa’i dengan sanad shahih), yaitu seperti ketika duduk antara dua sujud. Begitulah keadaan duduk pada tasyahud awal (HR. Bukhari dan Abu Dawud) dalam shalat tiga raka’at atau empat raka’at.
290. Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang menceritakan orang yang salah dalam melaksanakan shalatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya: “Dan apabila kamu duduk dipertengahan shalat, maka tuma’ninahlah dan duduklah di atas paha kirimu kemudian bertasyhadudlah” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad jayyid)
Pendapat ini dipegang oleh ulama Hanabilah, mereka menyatakan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan duduk tawaruk kecuali di raka’at yang terakhir dari shalat yang di dalamnya dilakukan dua kali tasyahud. Mereka berlandaskan dalil dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:
291.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Setiap dua raka’at; tasyahud dan beliau biasa membentangkan kaki kirinya dan menegakkan yang kanan.” (HR. Muslim)
Dan dalam tasyahud kedua, pelaksanaan duduk tawaruk tiada lain adalah bertujuan untuk membedakan dua macam tasyahud, dan setiap shalat yang hanya memiliki satu tasyahud tidak ada kesamaran (keserupaan) lagi, maka tidak perlu ada pembeda lagi (duduk tawaruk tidak perlu dilakukan).
2)   Duduk Tawaruk Setiap Tasyahud Yang Diakhiri Dengan Salam
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa disunnahkan untuk melakukan duduk tawaruk setiap tasyahud yang diakhiri dengan salam meskipun bukan tasyahud yang kedua (akhir) sebagaimana halnya tasyahud Shubuh dan shalat Jum’ah, karena ia merupakan tasyahud yang disunnahkan untuk dipanjangkan pelaksanaannya sehingga disunnahkan untuk melakukan duduk tawaruk sebagaimana halnya ketika tasyahud kedua (tasyahud akhir). (Mausu’ah Fiqhiyyah XV/268)

d)   Cara Meletakkan Tangan Ketika Duduk Tasyahud
Baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir, tangan kanan diletakkan di atas paha dan lutut kanan dan tangan kiri di atas paha dan lutut kiri dengan cara berikut:
1)   Menggenggam Jari-Jari Tangan Kanan Dengan Meletakkan Ibu Jari Di Bagian Tengah Di Bawah Jari Telunjuk
292. Dari Ibnu Umar, katanya: “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya di atas lututnya yang kanan dan beliau membuat ikatan nomor 53 (Menggenggam jari-jarinya dan menaruh ibu jarinya pada pergelangan tengah di bawah jari telunjuk) serta menunjuk dengan jari telunjuknya. Dan dalam riwayat lain dikatakan: Dan beliau menggenggam semua jarinya dan menunjuk dengan anak jari yang ada di samping ibu jari.” (HR. Muslim)
2)   Menggenggam Jari-Jari Tangan Kanan Hingga Menyerupai Lingkaran (Meletakkan Ibu Jari Di Atas Jari Tengah)
293. Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdo’a sambil menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
294. Dari Zubair, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud, meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan tangan kirinya di atas paha kirinya, dan beliau berisyarat dengan telunjuknya, dan beliau meletakkan ibu jarinya pada jari tengahnya, dan beliau menutupkan telapak tangan kirinya pada lutut kirinya.” (HR. Muslim)
295.Ketika beliau mengacungkan telunjuknya, ibu jarinya memegang jari tengah.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
296.....Ibu jari dan jari tengahnya membentuk bulatan.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Jarud, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dengan sanad shahih)
297.Beliau menunjuk dengan jari telunjuknya, dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
298.Beliau melebarkan telapak tangan kirinya di atas pahanya yang sebelah kiri, dan menggenggamkan jari-jari telapak tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, sambil mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah kiblat, sementara pandangan mata tertuju pada jari telunjuk tersebut.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Khuzaimah)
3)   Tangan Kanan Diletakkan Tanpa Digenggam
299. Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata: “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tasyahhud, maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha yang kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya yang kiri serta memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan pandangan matanya tidak melampaui telunjuknya tersebut.” (HR. Ahmad, Muslim dan an-Nasa'i)
300. Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila duduk di dalam shalat meletakkan dua tangannya pada dua lututnya dan mengangkat telunjuk yang kanan lalu berdo’a dengannya sedang tangannya yang kiri diatas lututnya yang kiri, beliau hamparkan padanya." (HR. Muslim dan An-Nasa’i)
301.Apabila duduk tasyahud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya -dalam riwayat lain disebutkan: pada lutut kanannya- dan meletakkan telapak tangan kirinya pada paha kirinya -pada riwayat lain disebutkan pada lutut kirinya-.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
e)   Pandangan Mata Ketika Duduk Tasyahud
Baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir, pandangan mata tertuju pada jari telunjuk tangan kanan yang sedang memberikan isyarat, dimana pandangan matanya tidak melampaui jari telunjuknya tersebut, yaitu berdasarkan hadits:
302.Beliau melebarkan telapak tangan kirinya di atas pahanya yang sebelah kiri, dan menggenggamkan jari-jari telapak tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, sambil mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah kiblat, sementara pandangan mata tertuju pada jari telunjuk tersebut.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Khuzaimah)
303. Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tasyahhud, maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha yang kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya yang kiri serta memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan pandangan matanya tidak melampaui telunjuknya tersebut.” (HR. Ahmad, Muslim dan an-Nasa'i)

f)   Cara Dan Saat Memberi Isyarat Dengan Jari Telunjuk
Isyarat selama duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir, hanya dilakukan dengan satu jari tangan saja, yaitu jari telunjuk tangan kanan dengan sedikit membungkukkannya.
304.Nabi pernah melihat seorang sahabat berdo’a sambil mengacungkan dua jarinya, lalu sabdanya kepada orang itu: ‘Satu saja! Satu saja!’ [Seraya mengacungkan jari telunjuk].” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan An-Nasa’i disahkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi)
305. Dari Numeir al-Khuza'i, katanya: “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang duduk dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit ketika berdoa." (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang cukup baik)
Tentang bagaimana cara dan saat memberi isyarat dengan jari telunjuk tangan kanan tersebut, terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk itu digerak-gerakkan, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa jari telunjuk itu tidak digerak-gerakkan. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk tersebut digerak-gerakan secara terus menerus, sedangkan yang lain mengatakan hanya digerak-gerakkan pada saat tertentu saja.
1)   Memberi Isyarat Dengan Menggerakkan Jari Telunjuk
Mereka yang berpendapat harus menggerakkan jari telunjuk, berdalil dengan hadits:
306. Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdo’a sambil menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
307.(Gerakan jari telunjuk) lebih ditakuti setan daripada (pukulan) besi. (HR. Ahmad, Bazzar, Abu Ja’far, Bukhtari, Ath-Thabarani, Abdul Ghani Al-Muqaddasi, Rauyani dan Baihaqi)
308.Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mengetahui perbuatan ini meniru perbuatan sahabat yang mengetahuinya, yaitu menggerakkan telunjuknya sambil mengucapkan do’a.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan)
309.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan jari telunjuknya seraya berdo’a dengannya.” (HR. An-Nasa’i)
310.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan ini dalam dua tasyahudnya -tasyahud awal dan tasyahud akhir-.” (HR. An-Nasa’i dan Baihaqi dengan sanad shahih)
i)    Menggerakkan Secara Terus Menerus Dari Awal Tasyahud
Dalam kitabnya Fi Shifat Ash-Shalat, Syaikh Al-Albani berkata: “Disunnahkan untuk terus berisyarat dengan telunjuk dan menggerak-gerakannya sampai salam karena do’a dilaksanakan sebelum salam dan ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan yang lainnya,.”
Dalam madzhab Imam Maliki, jari telunjuk digerakkan ke kiri dan ke kanan ketika duduk tasyahud hingga selesai shalat.


ii)   Menggerakkan Pada Waktu Berdoa
Sebagian ulama berpendapat bahwa menggerakkan jari telunjuk tidak dimulai dari awal tasyahud, akan tetapi dimulai dari awal do’a. Pendapat ini juga dipegang oleh Syaikh Ibnu Utsaimin.
Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam bukunya Fatawa Arkanul Islam: Menggerakkan jari telunjuk dilakukan pada waktu berdoa, bukan di semua waktu tasyahud. Jika kamu berdoa di waktu tasyahud, maka gerakkan jari telunjukmu, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits, "Menggerakkannya seraya berdoa dengannya...."
....Tempat-tempat berdoa dalam tasyahud adalah: "Assalamu 'alaika ayyuha an-nabiyu wa rahmatullah wa barakatuhu. Assalamu 'alaina wa 'ala ibadillahi Ash-Shalihin. Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad. Allahumma barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad. A'udzu billahi min 'Adzabi Jahannam, wa min 'adzabi al-qabr, wa min fitnati al-mahya wa al-mamat, wa min fitnati masihi ad-dajjal."
Di delapan tempat itulah yang perlu kita gerakkan jari telunjuk kita ke arah langit. Di sunnahkan juga ketika berdoa di selain delapan tempat itu untuk mengangkatnya; karena kaidah umumnya adalah disunnahkan mengangkat jari telunjuk pada setiap doa.
2)   Memberi Isyarat Dengan Tidak Menggerakkan Jari Telunjuk
Yang berpendapat tidak menggerakkan jari telunjuk berpegangan pada hadits:
311. Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata: "Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dengan jari saat berdo’a dan tidak menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban, hadits ini didhaifkan oleh syaikh Al-Albani)
Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Az-Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ketika berdo’a dan tidak menggerakkannya. Tambahan hadits ini (dan tidak menggerakkannya) masih perlu ditinjau keshahihannya.”
Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim, berasumsi bahwa tambahan tersebut (dan tidak menggerakkannya) menyimpang. Ini bisa dilihat dari:
Pertama, Muhammad bin ‘Ijlan tidak menetapkan hadits yang menyatakan, “Tidak adanya gerakan.”
Kedua, pendapat Ibnu ‘Ijlan berseberangan dengan riwayat mereka yang tidak menyebutkan redaksi “Tanpa gerakan”. Mereka itu adalah Utsman bin Hakim, dan ‘Ashim bin Kulaib. ‘Ashim lebih tsiqah daripada Muhammad bin ‘Ijlan, seperti terlihat dari hasil terjemahannya dalam At-Tahzib.
Syaikh Muhammad Bayumi juga melihat bahwa pendapat Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, kemudian riwayat Abu Dawud yang tidak menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu dalam shalat, maka secara umum argumentasinya menjadi batal dengan riwayat dari Wail bin Hujr.
Syaikh Al-Albani dalam kitab Fi Shifat Ash-Shalat, “Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggerakkannya tidak bisa ditetapkan, ditinjau dari segi sanadnya. Kalaupun hadits ini ditetapkan, akan tetapi bertentangan (nafi’), sedangkan hadits utama tetap (mustbit), yaitu hadits Wail bin Hujr. Dan seperti yang lazim terjadi dikalangan ulama, yang mutsbit didahulukan dari yang nafi’.

3)   Memilih Antara Menggerakkan Atau Tidak Menggerakkan
Ada lagi pendapat yang ketiga, yaitu kita disuruh memilih antara menggerakkan atau tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menggerakkan telunjuknya dan terkadang tidak menggerakkannya. (Lihat: Subulus Salam dan Nailul Authar).
Adapun pendapat pertama yang mengatakan bahwa telunjuk selalu digerakkan adalah berdasarkan hadits shahih seperti yang telah disebutkan di atas, sedangkan hadits yang menjelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggerakkan telunjuknya ketika shalat adalah hadits dhaif, juga berdasarkan sebuah kaidah yang berbunyi: al-mutsbat muqaddamun 'alal manfi’, yaitu nash yang menetapkan (menunjukkan adanya perbuatan) didahulukan dari nash yang menafikan (menolak adanya suatu perbuatan). Maksudnya, dalil yang menunjukkan adanya gerakan telunjuk didahulukan dari pada dalil yang menunjukkan tidak adanya gerakan telunjuk.
Kalau terdapat dua dalil yang seolah-olah bertentangan, seperti riwayat tentang menggerakkan telunjuk, yaitu menggerakkanya atau tidak menggerakkannya, maka cara pertama yang harus kita lakukan adalah menggabungkan antara kedua dalil tersebut. Kalau kedua dalil tersebut kita gabungkan maka yang dimaksud adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan namun tidak terus menerus, bahkan dilakukan hanya sekali, yaitu ketika berdo’a, ini pemahaman yang terbaik seperti yang dikatakan imam Baihaqi, yaitu bahwa yang dimaksud dengan menggerakkan jari telunjuk adalah bukan dengan cara menggerak-gerakkannya naik turun, melainkan dari semula menggenggam kemudian menunjuk ke arah kiblat.
Kalau ini tidak bisa dilakukan baru kita memakai kaidah seperti yang disebutkan di atas, yaitu dalil yang menunjukkan adanya gerakan telunjuk didahulukan dari pada dalil yang menunjukkan tidak adanya gerakan telunjuk. Namun seperti yang telah dijelaskan di atas, hadits yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggerakkan telunjuknya adalah hadits dhaif.
4)   Memberi Isyarat Hanya Pada Bacaan Tertentu Saja
Madzhab Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa memberi isyarat dengan jari telunjuk hanya dilakukan sekali saja, yaitu waktu membaca "Illallahu" ketika syahadah. Sementara Madzhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mengangkat jari telunjuk itu ketika dalam syahadah, yaitu ketika membaca "La Ilaha" dan meletakkannya kembali ketika membaca "Illallahu". Sedangkan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat memberi isyarat dengan jari telunjuk ketika menyebut nama Allah tanpa menggerakkannya.
Sebagian orang cukup mengangkat jari telunjuk hanya pada saat mengucapkan dua kalimat syahadat dalam tahiyyat. Hal ini tidak ada dasarnya dalam sunnah (Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim & Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh as-Sunnah)
g)   Bacaan Pada Tasyahud
Dalam hadits-hadits yang menjelaskan tentang bacaan tasyahud, tidak dibedakan antara do’a tasyahud awal dan tasyahud akhir, seperti yang terdapat dalam hadits berikut:
312. Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami surat Al-Qur’an.” (HR. Jama’ah)
313. Abdullah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
"Apabila di antara kamu duduk tahiyyat, maka hendaknya ia membaca "At-Tahiyyatu lillah..." kemudian hendaknya ia memilih doa sesukanya yang berkaitan dengan persoalan yang sedang dihadapi." (HR. Muslim)
Hadits-hadits di atas menunjukkan tidak adanya perbedaan doa dalam duduk tasyahud, baik pada tasyahud awal dan tasyahud akhir, sebagaimana juga dikatakan oleh Ibnu Hazm [Muhammad Nashiruddin Al-Albani, "Sifat Shalat Nabi]. Hanya saja nanti, pada tasyahud akhir ada doa-doa tertentu yang disarankan oleh Nabi untuk dibaca.
Berdasarkan beberapa hadis Nabi, inti bacaan yang harus dibaca dalam tasyahud awal dan akhir adalah: bacaan tahiyyat dan bacaan syahadat
Yang menjadi perbedaan di kalangan ulama hanyalah redaksi bacaannya. Ada yang berdasarkan riwayat Umar Bin Khattab, riwayat Ibnu Mas'ud, riwayat Ibnu Abbas dan lain-lainnya.

1) Menurut Riwayat Umar Bin Khatab

“ATTAHIYYAATU LILLAAHIZ ZAKIYYATU LILLAAHITH THAYYIBAATUSH SHALAWAATU LILLAAH. ASSALAAMU’ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH. ASSALAAMU’ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ANLAA ‘ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUHU.”

[Artinya]: “Segala penghormatan bagi Allah, segala kesucian bagi Allah, segala kebaikan dan kesejahteraan bagi Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Semoga juga dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Malik dalam Muwaththa dengan sanad yang shahih)
Tahiyyat ini dipraktekkan oleh Imam Malik. Menurut Ibnu Abdil Barr sungguhpun hadis ini mauquf, tetapi dihukumi mar'fu' [Muhammad Nashiruddin Al-Albani, "Sifat Shalat Nabi].
2) Menurut Riwayat Ibnu Abbas

“ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWAATUTH THAYYIBAATU LILLAAH. ASSALAAMU’ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH. ASSALAAMU’ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ANLAA ‘ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUHU.”
[Artinya]: “Segala penghormatan, keberkahan, kesejahteraan dan kebaikan bagi Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Semoga juga dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.” (HR. Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ad-Daruqutni, Ahmad, dan Syafi’i)
Bacaan ini dipraktikkan oleh Imam Syafi’i dan para pengikutnya.
3) Menurut Riwayat Ibnu Umar

"AT-TAHIYYAATU LILLAHI WASH SHALAWAATU WATH THAYYIBAATU. ASSALAAMU’ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH. ASSALAAMU’ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ANLAA ‘ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUHU."
[Artinya]: “Segala penghormatan bagi Allah, segala kesejahteraan dan kebaikan bagi Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Semoga juga dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Bukhari, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Bacaan ini dipraktekkan Imam Ats-Tsauri, Ulama Kufah dan para ahli Hadits.
h)   Shalawat Nabi
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca shalawat Nabi dalam Shalat. Sebagian mengatakan wajib, di antaranya adalah Imam Syafi'i. Beliau mengatakan bahwa membaca shalawat Nabi dalam shalat hukumnya wajib. Beliau beralasan dengan firman Allah berikut:
314.Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Imam Syafi'i berkata, "kewajiban membaca shalawat tidak ada tempat yang lebih tepat kecuali dalam shalat." [Asy-Syafi’i, Al-Umm]. Maka orang yang tidak membaca shalawat dalam tasyahudnya, shalatnya tidak sah, ia harus mengulang.

Namun sebagian besar ulama yang lain mengatakan bahwa membaca shalawat hukumnya sunnah. Di antaranya ialah Ibnu Mundzir, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri dan ulama Madinah serta kalangan rasionalis.
Alasan mereka adalah berdasarkan tidak adanya hadits yang secara eksplisit memerintahkan seorang yang shalat membaca shalawat Nabi.
Beberapa hadits yang ada hanya seputar persoalan pertanyaan sahabat mengenai bagaimana mereka membaca salawat ketika shalat, dan kemudian Nabi mengajarkannya. Menurut ulama yang berpendapat shalawat hukumnya sunnah, penjelasan tentang shalawat ini sangat berbeda dengan ketika nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan tasyahud. Pada saat mengajarkan tasyahud para sahabat bersaksi:
315. Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia berkata,"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami surat Al-Qur'an. (HR. Jama’ah)
Bahkan apa yang dipraktekkan oleh Nabi dalam mengajarkan tasyahud juga dipraktekkan oleh Abu Bakar dan Umar. Dan dalam pengajaran itu baik Nabi maupun para sahabat sama sekali tidak mengajarkan shalawat. Karena itulah para ulama ini menyimpulkan bahwa hukum membaca shalawat ketika tasyahud adalah sunnah [Al-Qurthubi]
1)   Letak Shalawat Nabi Pada Tasyahud
Semua ulama sepakat bahwa Shalawat Nabi dibaca pada tasyahud akhir, tetapi ada perbedaan pendapat tentang apakah Shalawat Nabi dibaca/tidak dibaca pada tasyahud pertama (tasyahud awal).
i)    Shalawat Nabi Tidak Dibaca Pada Tasyahud Pertama
Para ulama yang berpendapat bahwa Shalawat Nabi tidak dibaca pada tasyahud pertama, maka bacaan mereka pada tasyahud pertama dibatasi hanya sampai bacaan dua kalimat syahadat saja, kemudian berdiri. Hal ini didasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk setelah dua raka’at pertama seperti duduk di atas radhf.
Berdasarkan hadits dari Ibnu Mas’ud tersebut, Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab Zaadul Ma’ad berpendapat, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat membatasi bacaan tasyahudnya, sehingga (ketika beliau duduk tasyahud) seperti duduk di atas radhf -yaitu batu panas- dan tidak ada satu hadits pun yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bershalawat untuknya dan keluarganya dalam tasyahud ini (setelah dua raka’at pertama).”
Hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan imam yang empat, Imam Al-Hakim dari riwayat Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya tersebut lemah menurut Ibnu Daqiqil Ied dalam At-Talkhis 1/163. Hadits ini terputus sanadnya (munqathi’), karena Abu Ubaidah tidak mendengar langsung dari bapaknya. Dan Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. At-Tirmidzi berkata, “Hadits tersebut hasan.” Hal ini kontradiktif (bertolak belakang) dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Daqiqil Ied, karena Abu Ubaidah tidak mendengar dari bapaknya, dan juga tidak bertemu dengannya. Ini merupakan hadits yang terputus sanadnya.
Imam Al-Albani berkata, “Dalil yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, tidak bisa digunakan untuk membatasi keumuman dan kemutlakan yang ditunjukkan pada tasyahud pertama, keumuman hadits ini sangat layak. Adapun dalil terkuat yang dijadikan argumentasi oleh mereka yang menentang ini adalah hadits Ibnu Mas’ud. Hadits ini tidak tergolong shahih karena terputus sanadnya.

ii) Shalawat Nabi Dibaca Juga Pada Tasyahud Pertama
Para ulama yang berpendapat bahwa Shalawat Nabi juga dibaca pada tasyahud pertama berdasarkan pada:
316. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca shalawat untuk dirinya pada tasyahud awal dan lainnya. (HR. Abu ‘Awanah dalam Shahihnya dan An-Nasa’i)
317. Keumuman hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para sahabat ketika mereka bertanya, “Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana memberi salam kepadamu, tetapi bagaimana kami bershalawat atasmu?” Maka beliau bersabda, “Ucapkanlah Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…” dan seterusnya hingga selesai. (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara tasyahud pertama dan tasyahud kedua. Karena itu, maka dibolehkan bershalawat atas Nabi pada tasyahud yang pertama. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm 1/102, ia berkata, “Bacaan tasyahud dan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dipisahkan satu dengan lainnya. Pendapat inilah yang sah di kalangan murid-murid beliau seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ 3/460 dan yang dengan jelas dinyatakan dalam kitab Raudhah 1/263.
Ini juga merupakan pendapat Ibnul Daqiqil Ied dalam kitab Talkhis Al-Habir 1/236. Dia dikenal dengan nama Al-Wazir bin Hubairah Al-Hambali dalam kitab Al-Ifshah. Begitu pula yang dikutip oleh Ibnu Rajab dalam kitab Zail Ath-Thabaqat 1/280 dan dalam hal ini menjadi ketetapan.
2)   Bacaan Shalawat Nabi
Riwayat tentang bacaan shalawat ada bermacam-macam, di antaranya sebagai berikut:
i) Riwayat Imam Syafi’i Dari Ka’ab Bin Ajrah

“ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMAD, WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD. KAMAA SHALLAITA ‘ALAA IBRAAHIIM, WA ‘ALAA AALI IBRAAHIIM. WA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD. KAMAA BAARAKTA ‘ALAA IBRAAHIIM, WA ‘ALAA AALI IBRAAHIIM. INNAKA HAMIIDUM MAJIID.”
[Artinya]: “Ya Allah limpahkanlah kebahagiaan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi kebahagiaan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR. Imam Syafi'i)

ii) Riwayat Imam Ahmad

“ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMAD, WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD. KAMAA SHALLAITA ‘ALAA AALI IBRAAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID. WA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD. KAMAA BAARAKTA ‘ALAA AALI IBRAAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID.”
[Artinya]: “Ya Allah limpahkanlah kebahagiaan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi kebahagiaan kepada Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi keberkahan kepada: keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Enkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (Musnad Imam Ahmad)

3)   Kata Sayyidina Dalam Shalawat Nabi
318. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana memberi salam kepadamu, tetapi bagaimana kami bershalawat atasmu?” Maka beliau bersabda, “Ucapkanlah Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…” dan seterusnya hingga selesai. (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dalam konteks shalat, lafal Shalawat Nabi dalam hadits di atas (tanpa lafal sayyidina) sudah baku sebagaimana yang telah di ajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan bagian dari praktek shalat Rasulullah.
Sedangkan di luar konteks shalat, tidak ada larangan bahwa lafal itu harus persis dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai ummatnya, kita boleh saja menyapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebutan yang baik-baik, termasuk memberikan tambahan gelar “sayyidina” sebagai rasa penghormatan dan penyanjungan kepada beliau.
Dan penggunaan lafal “sayyidina” kepada sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum tidak bertentangan dengan posisi beliau sendiri, karena beliau memang junjungan kita. Bahkan beliau sendiri menyebutkan dirinya dengan “sayyidu waladi Adam”, junjungan anak-anak Adam (umat manusia).
i)  Berdo’a Sebelum Salam [Dan Berdzikir Setelah Salam]
          Adanya do’a sebelum salam didasarkan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyuruh orang yang shalat untuk berdo’a setelah membaca tasyahud:
319.Setelah membaca do’a ta’awudz, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang-orang yang shalat untuk memilih do’a-do’a yang dikehendakinya sebelum mengucapkan salam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
320. Dari Ibnu Mas'ud tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya tasyahud, beliau bersabda: “Kemudian hendaklah seseorang itu memilih do’a yang paling disenanginya, dan berdo’a [dalam suatu lafal: kemudian hendaklah ia memilih dari permohonan yang ia kehendaki]" (Muttafaq ‘alaih)
321. Dari Aisyah, ia berkata, ““Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dalam shalatnya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab qubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang." (HR. Bukhari)
322. Dari Abu Umamah, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang do’a yang paling didengar oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau menjawab: "Di pertengahan malam yang akhir dan dubur shalat-shalat fardhu (dubura ash-shalawatil maktubah).” (HR. At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).
Arti kata dubur dalam kamus Almu'jam Al Wasid adalah: akhir dari sesuatu (penghujungnya) dan bukan setelah, sebab setelah dalam bahasa arab adalah ba'da.
Arti kata dubur jika dikaitkan dengan shalat (Fatwa Syaikh Ibnu Baz dalam Tuhfatul ikhwan biajwibatin muhimmbatin tata'allaqu bi arkanil Islam, Syaikhul Islam dalam majmu' fatawa dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam majmu' fatawa wa rasail):
323. Apabila berkaitan dengan pembacaan do’a, maka arti kata dubur shalat adalah penghujung shalat sebelum salam,
324. Dan apabila berkaitan dengan pembacaan dzikir, maka arti kata dubur shalat adalah penghujung shalat setelah salam.
Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka para ulama yang beraliran tekstual (ahli dzahir) menganggap bahwa berdo’a sebelum salam hukumnya wajib. Sedangkan menurut jumhur ulama hukumnya sunnah.
Adapun materi do’a, menurut jumhur ulama adalah sesuka orang yang shalat, baik persoalan dunia maupun akhirat, sebagaimana dikatakan dalam hadits. Tetapi menurut Imam Hanafi, hanya dengan do’a yang ada di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits (Nail al-Authar). Sedangkan ahli dzahir menyatakan bahwa do’a yang harus dibaca haruslah mengandung kewajiban berlindung dari empat perkara, yaitu: siksa kubur, siksa neraka, fitnah Dajjal, dan fitnah hidup dan mati (Ibnu Rusyd).
1)   Berdo’a Memohon Perlindungan Allah (Ta’awudz) Dari Empat Perkara

325. “Apabila seseorang telah selesai membaca tasyahud akhir maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara, yaitu:

"ALLAAHUMMA INNII A'UUDZUBIKA MIN 'ADZAABI JAHANNAMA WA MIN 'ADZAABIL QABRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAATI WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL."
[Artinya]: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka jahannam, siksa kubur, fitnah kehidupan dan kematian dan dari fitnah dajjal. [Selanjutnya, hendaklah ia berdo’a memohon kebaikan untuk dirinya sesuai kepentingan].” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, An-Nasa’i dan Ibnul Jarud)
326. Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apabila kamu telah selesai bertasyahud maka hendaklah berlindung kepada Allah dari empat (4) hal, yaitu:
"ALLAAHUMMA INNII A'UUDZUBIKA MIN 'ADZAABI JAHANNAMA WA MIN 'ADZAABIL QABRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAATI WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL."
[Artinya]: "Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati serta fitnah Al-Masiihid Dajjaal." (HR. Bukhari dan Muslim dengan lafadhz Muslim)
327. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a tersebut dalam tasyahudnya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad dengan sanad shahih)
328. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a tersebut kepada sahabat-sahabatnya seperti halnya beliau mengajarkan suatu surah Al-Qur’an kepada mereka.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
329. Dari Aisyah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dalam shalatnya,
"ALLAAHUMMA INNII A'UUDZUBIKA MIN 'ADZAABIL QABRI, WA A'UUDZUBIKA MIN FITNATIL MASIIHID DAJJAAL, WA A'UUDZUBIKA MIN FITNATIL MAHYAA, WA FITNATIL MAMAATI ALLAAHUMMA INNII A'UUDZUBIKA MINAL MAATS TSAMI WAL MAKHRAM."
[Artinya]: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab qubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang." (HR. Bukhari)

2)   Do’a-Do’a Sebelum Salam Lainnya

330. Dari Muadz bin Jabal, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tanganku, kemudia beliau berkata, ‘Hai Muadz! Demi Allah sungguh aku menyukaimu.’ Kemudian Muadz berkata, Demi Bapak dan Ibuku, ya Rasulullah, saya sungguh mencintaimu.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Aku berwasiat kepadamu ya Muadz, engkau jangan sekali-kali meninggalkan di setiap akhir shalat untuk berdo’a:

“ALLAAHUMMA A’INNII ‘ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIKA.”
[Artinya]: Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa ingat kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan bagus ibadah kepada-Mu.” (Dalam Mustadrak ‘ala Shahihaini)
331. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang sahabatnya:
Apa yang engkau ucapkan dalam shalat?” Ujarnya: Aku bertasyahud, kemudian aku memohon surga kepada Allah dan berlindung dari siksa neraka. (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda): “Demi Allah, alangkah baiknya permohonan yang kamu ucapkan dan diucapkan oleh Mua’dz.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “(Kami selalu mengucapkan kalimat-kalimat tersebut).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad shahih)
332. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seorang sahabat dalam tasyahudnya membaca:
“ALLAAHUMMA INNII AS-ALUKA YAA ALLAHUL (BILLAAHIL) [WAAHID] AHADITSH-SHAMADI LLADZII LAM YALID WALAM YUU LAD, WALAM YAKUL LAHU KUFUWAN AHAD, AN TAGHFIRLII DZUNUBII, INNAKA ANTAL GHAFUURUR RAHIIM. “
[Artinya]: “Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, [Tuhan Yang Mahatunggal], tempat makhluk bergantung, tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, tiada sesuatu apapun yang menyamai-Nya, ampunilah segala dosaku, karena Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada: “(Orang ini telah diampuni, orang ini telah diampuni).” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad dan Ibnu Khuzaimah. Disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi)
333. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar sahabat lain dalam tasyahudnya berdo’a:
“ALLAAHUMMA INNI AS-ALUKA BIANNA LAKAL HAMDA, LAA ILAAHA ILLA ANTA #WAKHDAKA LA SYARIIKA LAKA#, #AL-MANNAANU# [YA] BADII ’AS SAMAAWAATI WAL ARDHI, YA DZAAL JALAALI WAL IKRAAMI, YAA HAYYU YAA QAYYUUMU, [INNII AS-ALUKA] [AL-JANNATA, WA A’UDZUBIKA MINAN NAARI].”
[Artinya]: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa segala puji adalah milik-Mu, tiada tuhan kecuali Engkau, [tiada sekutu bagi-Mu], [Maha Pemberi karunia], [wahai] Penciapta langit dan bumi. Wahai Tuhan Yang Mahaagung dan Maha Pemurah. Wahai Tuhan Yang Mahahidup, wahai Tuhan Yang Mahaberdiri sendiri, [sesungguhnya aku memohon] [surga kepada-Mu dan berlindung kepada-Mu dari siksa neraka].”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya:
Tahukah engkau apa yang dimohon orang ini?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Sabdanya: [Demi Tuhan yang menggenggam jiwaku], sesungguhnya orang ini telah memohon kepada Allah dengan menyebut nama-Nya yang agung, yang bila orang memohon dengan menyebut keagungan-Nya itu, Dia akan mengabulkan dan bila orang itu meminta sesuatu, Dia akan memberinya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad, Bukhari, Ath-Thabrani, Ibnu Mandah dengan sanad-sanad shahih)
334. Do’a antara tasyahud dan salam yang terakhir kali dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
“ALLAAHUMMAGH FIRLII MAA QADDAMTU, WAMAA AKH KHARTU, WA MAA ASRARTU, WA MAA A’LANTU, WA MAA ASRAFTU, WAMAA ANTA A’LAMU BIHI MINNII. ANTAL MUQADDIMU, WA ANTAL MUAKH KHIRU, LAA ILAAHA ILLA ANTA.”
[Artinya]: “Ya Allah, ampunilah segala dosaku, baik yang lampau maupun yang akan datang, baik yang tersembunyi maupun yang terang, serta dosa-dosaku yang berlebihan, juga dari semua yang Engkau lebih mengetahui daripada aku. Engkaulah yang terdahulu dan Engkaulah yang terkemudian, tidak adaTtuhan kecuali Engkau.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
17. Salam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengakhiri shalatnya dengan salam.
335. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kunci shalat adalah bersuci, dan pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah mengucapkan salam” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
336. "Kunci shalat adalah bersuci, pembukanya takbir dan penutupnya adalah mengucapkan salam." (HR. Al-Hakim dan disahkan Adz-Dzahabi)

a)   Cara Dan Bacaan Salam
Beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang salam yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
337. Dari 'Amir bin Sa'ad, dari bapaknya berkata: “Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi salam ke sebelah kanan dan sebelah kirinya hingga terlihat putih pipinya.” (HR. Ahmad, Muslim dan An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
338.Beliau mengakhiri shalatnya dengan mengucapkan salam dengan menoleh ke sebelah kanan, hingga pipi kanan beliau yang putih nampak terlihat, setelah itu beliau menoleh ke sebelah kiri, hingga pipi kiri beliau yang putih nampak terlihat.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi serta dishahihkan olehnya)
339.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam dengan berpaling ke arah kanan seraya mengucapkan “assalamu ‘alaikum wa rahmatullaah” [sehingga terlihat pipi kanannya yang putih] dan berpaling ke kiri seraya mengucapkan “assalamu ‘alaikum wa rahmatullaah” [sehingga terlihat pipi kirinya yang putih].” (HR. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)
340. Terkadang pada bacaan salam yang pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan kata wa baraakatuh.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah Daruqutni dengan sanad shahih, Abdur Razzaq, Abu Ya’la, Ath-Thabarani, Al-Ausath dan)
341. Ketika berpaling ke kanan beliau terkadang mengucapkan: assalamu ‘alaikum wa rahmatullaah dan ketika berpaling ke kiri hanya mengucapkan assalamu ‘alaikum. (HR. An-Nasa’i, Ahmad dan Siraj dengan sanad shahih). Terkadang beliau mengucapkan salam sekali saja dengan ucapan: [assalamu ‘alaikum] [dengan sedikit memalingkan wajahnya ke kanan}. (HR. Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Adh-Dhiya’, Abdul Ghani Al-Maqdisi dengan sanad shahih, Ahmad, Ath-Thabrani, Baihaqi, dan Hakim)
b)   Gerakan Yang Dilarang Ketika Salam
Ketika mengucapkan salam para sahabat ada yang menggerakkan tangan kanannya ke kanan ketika menoleh ke kanan dan menggerakkan tangan kirinya ke kiri ketika menoleh ke kiri. Hal ini dilihat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:
342. "Mengapa kamu menggerakkan tangan kamu seperti gerakan ekor kuda yang lari terbirit-birit dikejar binatang buas? Bila seseorang di antara kamu mengucapkan salam, hendaklah ia berpaling kepada temannya dan tidak perlu menggerakkan tangannya." [Ketika mereka shalat lagi bersama Rasullullah, mereka tidak melakukannya lagi]. (Pada riwayat lain disebutkan: "Seseorang di antara kamu cukup meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian ia mengucapkan salam dengan berpaling kepada saudaranya yang di sebelah kanan dan saudaranya di sebelah kiri).” (HR. Muslim, Abu 'Awanah, Ibnu Khuzaimah dan Ath-Thabrani).
343. Dari Jabir bin Samarah radhiyallahu anhu, ia berkata: “Apabila kami shalat bersama Rasulullah, ….” Kemudian memberikan isyarat dengan tangannya ke sisi kanan dan kiri. Maka, ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apa yang kalian yakini dari isyarat tangan tersebut? Padahal, perbuatan tersebut tidak lebih seperti ritualitas ibadah sebagian kaum yang menyembah matahari yang berbentuk seperti ekor kuda. Sebenarnya, cukup bagi kalian untuk meletakkan tangan di atas paha, kemudian memberikan salam kepada saudaranya yang berada di samping kanan dan kirinya.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa’i)
344. Dalam riwayat lain dikatakan, “Apabila kalian memberikan salam, hendaknya kalian menoleh kepada orang yang ada disampingnya tanpa harus mempergunakan isyarat dengan tangan.” (HR. Muslim)
18. Sujud Sahwi
Sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan sebanyak dua kali, yang disyariatkan untuk dilaksanakan jika seseorang merasa ragu tentang jumlah raka’at shalat atau jika dia meninggalkan hal-hal yang wajib dalam shalat seperti tasyahud awal. Pelaksanaan sujud tersebut boleh dilakukan sebelum maupun sesudah salam.
a)   Sebab Sujud Sahwi
1)   Lupa
Para ulama sepakat bahwa yang melatar-belakangi sujud sahwi adalah lupa (ghaflah). Dan bahkan lafal “sahwi” sendiri artinya lupa, lalai, alpa.
Lupa ini mengakibatkan seseorang menambahi atau mengurangi gerakan shalat. Sedangkan bila menambahi atau mengurangi gerakan shalat karena sengaja, maka shalatnya batal.
345. Dari Ibnu Mas‘ud radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Bila kamu lupa dalam shalat, maka sujudlah dua kali (sujud sahwi).” (HR. Muslim)
2)   Ragu-Ragu
Hal kedua yang melatar-belakangi sujud sahwi adalah timbulnya rasa ragu dalam diri seseorang dalam shalat. Misalnya, seseorang ragu-ragu apakah sudah tiga raka’at atau baru dua raka’at.
Dalam kondisi ini para ulama sepakat bahwa tindakan yang harus diambil saat itu adalah kembali kepada apa yang lebih diyakini yaitu bilangan yang lebih sedikit lalu melakukan sujud sahwi. Dalilnya adalah:
346. Dari Abi Said al-Khudhri radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Bila seseorang merasa ragu dalam shalatnya, dan tidak tahu sudah berapa raka’at, tiga atau empat, maka hendaklah membuang ragunya itu dan lakukan apa yang diyakini. Kemudian hendaklah sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Muslim)
b)   Cara Sujud Sahwi
Cara sujud shawi sama dengan sujud pada umumnya. Jumlahnya dua kali diselingi duduk di antara dua sujud.
c)   Waktu Mengerjakan Sujud Sahwi
Ada perbedaan ulama dalam masalah ini:
1)   Madzhab Al-Hanafiyah
       Al-Hanafiyah mengatakan bahwa sujud sahwi itu dilakukan sesudah salam pertama, baik karena kelebihan atau karena kekurangan dalam shalat.
            Caranya menurut madzhab ini adalah bertasyahud lalu mengucapkan salam sekali saja, lalu sujud lagi (sujud sahwi) kemudian bertasyahud lagi salu bersalam. Bila saat salam pertama dilakukan dua kali salam, maka tidak boleh lagi sujud sahwi.
2)   Madzhab Al-Malikiyah Dan Sebuah Riwayat Dari Imam Ahmad bin Hanbal
Sedangkan Al-Malikiyah dan menurut sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa harus dibedakan sujud sahwi berdasarkan bentuk lupanya. Bila lupanya adalah kekurangan dalam gerakan shalat, maka sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Dan sebaliknya bila kelebihan gerakan, maka sujudnya sesudah salam atau setelah selesai shalat. Dalilnya adalah hadits:
347. Dari Abdullah bin Malik bin Buhainah radhiyallahu anhu, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri dari raka’at kedua shalat Dzuhur tanpa melaksankan duduk (tasyahud awal) terlebih dahulu, kemudian setelah beliau menyelesaikan shalatnya beliau sujud dua kali kemudian mengucapkan salam setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan bila lupa yang menyebabkan kelebihan gerakan shalat, maka sujudnya sesudah salam. Dalilnya adalah hadits:
348. Dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami lima raka’at. Lalu kami bertanya,”Apakah ada perubahan (tambahan) dalam shalat?” Beliau bertanya ”Memangnya kenapa?”. ”Anda shalat lima raka’at wahai Rasulullah”, jawab kami. “Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian, jadi aku mengingat seperti kalian mengingat dan lupa seperti kalian lupa.” Lalu beliau sujud dua kali.” (HR. Muslim)
3)   Madzhab Asy-Syafi’iyyah Dan Madzhab Al-Hanabilah

Asy-Syafi‘iyyah dan juga riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa sujud sahwi itu dilakukan sebelum salam.

4)   Mengikuti Apa Yang Pernah Dialami Rasulullah

Akan lebih baik jika kita mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika kita mengalami apa yang pernah dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

i) Kekurangan Raka’at Karena Lupa
349. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kami melaksanakan shalat Dzuhur atau Ashar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau salam. Maka Dzulyadain bertanya pada beliau: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. apakah engkau mengurangi shalat (mengqasharnya)? Maka Nabi bertanya kepada para sahabatnya: “Apakah benar yang dikatakannya?” Mereka menjawab: “Ya” Kemudian beliau menambah dua raka’at lalu melaksanakan sujud dua kali.” (Muttafaq’alaih)
350. Sa’ad berkata: “Aku melihat Urwah bin Zubair melaksanakan shalat Maghrib dua raka’at, kemudia beliau salam dan berbincang-bincang kemudian beliau menambah raka’at yang kurang dan sujud dua kali. Lalu ia berkata: “Inilah yang diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Bukhari dan Muslim)

ii) Kelebihan Raka’at Karena Lupa

351.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat Dzuhur lima raka’at, kemudian ketika beliau salam ditanyakan pada beliau: Apakah shalat telah ditambah? Nabi balik bertanya: Apa itu? Para sahabat menjawab: Anda shalat lima raka’at. Kemudian beliau sujud dua kali.” (HR. Bukhari dan Muslim)

iii) Apabila Ragu Tentang Jumlah Raka’at Shalat Yang Telah Dilakukan

352.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian merasa ragu dalam shalatnya, maka hendaklah dia memilih yang paling benar kemudian hendaklah dia menyempurnakan shalatnya kemudian hendaklah dia salam kemudian sujud dua kali.” (HR. Bukhari dan Muslim)

iv) Apabila Lupa Melaksanakan Tasyahud Awal

353.
Dari Abdullah bin Malik bin Buhainah radhiyallahu anhu, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri dari raka’at kedua shalat Dzuhur tanpa melaksankan duduk (tasyahud awal) terlebih dahulu, kemudian setelah beliau menyelesaikan shalatnya beliau sujud dua kali kemudian mengucapkan salam setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

d)   Bacaan Sujud Sahwi
Tentang lafal yang dibaca saat sujud sahwi, umumnya para ulama menyatakan bahwa do’a sujud sahwi adalah sama dengan do’a ketika sujud dalam shalat.
Meskipun demikian ada juga yang berpendapat bahwa bacaan do’a ketika sujud sahwi adalah: “Subhaana Man Laa Yanaamu Walaa Yashu (Maha Suci Dzat Yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa)”.
Keterangan tentang itu ada pada kitab-kitab fiqih antara lain tulisan Ibnu Nawawi Al-Jawi yang bernama Nihayatuz Zain pada juz 1 halaman 81 dan kitab Hasyiah At-Tahawiyah ‘Ala Maraqil Falah karya At-Tahawi Al-Hanafi juz 1 halaman 298. Namun sayangnya, kedua kitab itu tidak mencantumkan dalil apakah lafal tersebut dari perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan.
19. Do’a Qunut
Doa qunut juga merupakan salah satu amalan dalam shalat yang diperdebatkan. Letak persoalannya adalah apakah doa qunut itu ada pada shalat tertentu serta dilakukan selamanya dan melekatnya sebagai sunnah, ataukah ia dapat dilaksanakan kapan pun, asalkan ada alasan untuk melakukannya. Dalam hal ini ada beberapa pendapat sebagai berikut:
a)   Qunut Dilakukan Hanya Untuk Mendo’akan Suatu Kaum Yang Terkena Mushibah (Qunut Nazilah)
354. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan secara berturut-turut pada waktu shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh, di ujung semua shalat. Ketika beliau mengucapkan ‘sami'allahu liman hamidah’ pada raka’at yang terakhir beliau berdoa untuk mengutuk perkampungan Bani Salim, juga untuk suku Ri'l, Dzakwan dan Ushayyah. Sedangkan makmumnya mengamininya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, shahih)
Adapun alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutuk suku-suku tersebut adalah karena mereka telah membunuh banyak kaum muslimin pada peristiwa bi'ru ma'unah, seperti disebut dalam hadits berikut:
355. Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a atas orang-orang yang mati syahid dalam tragedi "Bi'ru Maunah" dalam waktu tiga puluh kali shalat Shubuh. Beliau mengutuk kaum Ri'l, Dzakwan, Lihyan dan Ushayyah yang telah berbuat durhaka kepada Allah dan Rasulnya.” (HR. Muslim)
Qunut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berlangsung terus-menerus selama hidup beliau, melainkan ketika yang diharapkan sudah terwujud beliau menghentikannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
356. Dari Abu Hurairah, "Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Qunut kecuali untuk mendoakan seseorang atau melaknat seseorang." (H.R. Ibnu Khuzaimah)
Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka sebagian ulama mengatakan bahwa doa Qunut hanya dilakukan jika ada sebab, dan dilakukan pada setiap shalat, tidak khusus pada shalat Shubuh saja. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah dan ulama-ulama Kuffah. Baik Abu Hanifah maupun ulama Kuffah melarang melakukan Qunut pada shalat Shubuh.
Jika Qunut dilaksanakan untuk mendoakan atau melaknat suatu kaum yang maksiat kepada Allah, maka boleh dilakukan kapan saja. Qunut ini dilakukan sepanjang ada persoalan, setelah persoalannya selesai (tidak ada) maka qunut tidak dilakukan lagi.

Do’a Qunut Nazilah

Do’a Qunut Nazilah redaksinya disesuaikan dengan kejadiannya, dapat berupa do’a keselamatan bagi orang yang tertindas ataupun kecaman terhadap orang-orang yang zalim, seperti do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
357. "Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin A1-Walid, Salmah bin Hisyam, lyas bin Abi Rabiah serta orang-orang lemah dari kaum mukminin. Ya Allah kuatkanlah cengkeraman-Mu atas kaum Madhar dan turunkanlah malapetaka atas mereka seperti malapetaka pada zaman Yusuf. Ya Allah laknatlah suku Lihyan, Ri'il, Zakwan dan Ushayyah yang telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya." (HR. Muttafaq `alaih)
b)   Qunut Shalat Shubuh
Al-Hazaimi dalam kitabnya Al-I'tibar berkata bahwa kebanyakan sahabat, bahkan sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali melakukan Qunut, begitu juga tabiin dan orang-orang sesudahnya terutama ulama Mesir menetapkan adanya doa qunut dalam shalat Shubuh. Dasarnya ialah:
358. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama sebulan secara berturut-turut pada waktu shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh, di ujung semua shalat. Ketika beliau mengucapkan ‘sami'allahu liman hamidah’ pada raka’at yang terakhir beliau berdo’a untuk mengutuk perkampungan Bani Salim, juga untuk suku Ri'l, Dzakwan dan Ushayyah. Sedangkan makmumnya mengamininya. (HR. Ibnu Khuzaimah, shahih).
Menurut Imam Syafi'i, sungguhpun ada hadits yang menyatakan bahwa setelah persoalan itu selesai Nabi meninggalkan qunut, tetapi yang perlu dicatat adalah, tidak ada persaksian bahwa Nabi meninggalkan qunut di waktu Subuh. Hal ini diperkuat juga oleh Hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu berikut:
359. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, “Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Qunut selama sebulan, beliau mengutuk mereka (kaum yang zalim), kemudian Nabi meninggalkannya. Adapun pada waktu shalat Shubuh Nabi tetap melakukannya sampai beliau wafat.” (HR. Baihaqi)
Bahkan kata Imam Syafi'i, adanya Qunut dalam shalat Shubuh itu berdasarkan hadits yang kuat, yaitu:
360. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Qunut pada waktu shalat Shubuh. Maka beliau berdo’a, "Ya Allah selamatkan Walid bin Al-Walid, Salmah bin Hisyam dan Iyasy bin Abi Rabiah." (HR. Syafi’i dalam kitab Al-Umm)

Do’a Qunut Shalat Shubuh

Pada dasarnya do’a qunut itu disesuaikan dengan maksud dan tujuannya. Sehingga qunut shubuh dengan do’a qunut nazilah pun tidak menjadi masalah, asalkan do’a tersebut sesuai dengan kejadian yang sedang terjadi.
Persoalannya, bagaimanakah do’a qunut pada waktu shalat Shubuh manakala tidak ada kejadian yang perlu dido’akan atau dilaknat. Dalam hal ini do’anya sebagai berikut:
1)      Qunut Umar bin Khattab
361. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, beliau qunut dengan membaca:

“ALLAAHUMMA INNAA NASTA’IINUKA WA NASTAKH FIRUKA WA NUSNII ‘ALAIKAL KHAIRA NASKURUKA WA LAA NAKFURUKA WA NAKHLA’U WA NATRUKA MAN YAFJURUKA. ALLAAHUMMA INNAAKA NA’BUDU WA LAKA NUSHALLII WA NASJUDU WA ILAIKA NAS’A WA NAHFADU NARJUU RAHMATAKA WA NAKHSYA ‘ADZAABAKA INNA ‘ADZAABAKA BALKUFFAARI MULHAQ.”
[Artinya]: “Ya Allah! Sesungguhnya kami mohon pertolongan kepadamu, mohon ampun kepadamu, mohon kebaikan kepadamu, kami bersyukur kepadamu, dan kami tidak mengingkari-Mu, dan kami melepaskan dan meninggalkan orang yang durhaka kepada-Mu. Ya Allah! Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya untuk-Mu kami shalat dan sujud. Hanya kepada-Mu kami berusaha dan bersegera. Kami mohon rahmat-Mu dan kami takut siksa-Mu. Sesungguhnya siksa-Mu terhadap orang-orang kafir adalah suatu keniscayaan.” (Al-Umm, juz VII, h. 141)
2)   Qunut Al-Hasan Putra Ali bin Abi Thalib
362. Dari Hasan bin Ali, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku do’a, yang selalu dibaca oleh ayahku pada waktu shalat Shubuh, sebagai berikut:

“ALLAAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIIT. WA‘AAFINII FIIMAN ‘AAFAIT. WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT. WA BAARIKLII FIIMAN A’THAIT. WA QIINI SYARRAMAA QADHAIT. INNAKA TAQDHII WALAA YUQDHAA ‘ALAIK. INNAHUU LAA YADZILLU MAN WAALAIT. TABAARAKTA RABBANAA WA TA’AALAIT.”
[Artinya]: “Ya Allah! Tunjukkilah aku pada jalan orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Sehatkanlah aku sebagaimana Engkau telah memberi kesehatan kepada orang yang sehat. Berikanlah aku kekuasaan sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri kekuasaan. Berikanlah aku berkah di dalam apa saja yang telah Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan sesuatu yang telah Engkau jadikan. Sesungguhnya Engkau-lah yang menentukan, bukan ditentukan. Dan sesungguhnya tidak akan terhina orang yang Engkau tolong.” (HR. Baihaqi)
Catatan:
Do’a Qunut ini dalam riwayat-riwayat yang lain berkaitan dengan qunut dalam shalat witir.


c)   Qunut Witir

Adanya do’a qunut dalam shalat witir tertuang dalam banyak hadits, di antaranya:
363. Dari Ubai bin Kaab, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat witir, kemudian beliau melakukan qunut sebelum ruku’.” (HR. An-Nasa’i, Ad-Daruqutni dan Ibnu Majah)
Hadits di atas juga didukung oleh hadits yang menjelaskan do’a yang dibaca Rasulullah ketika doa Qunut dalam shalat witir, yang akan disebutkan nanti.

Waktu Qunut Witir


Para ulama berbeda pendapat tentang waktu qunut witir, apakah sepanjang tahun atau hanya waktu-waktu tertentu saja.
Imam Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa qunut Witir hanya dilakukan pada pertengahan akhir bulan Ramadhan. Pendapat ini berdasarkan praktik yang dilakukan Ali bin Abi Thalib:
363. Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib tidak melakukan qunut dalam shalat witir kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadhan dan beliau qunut setelah ruku'.” (HR. At-Tirmidzi)
Sedangkan menurut ulama Kuffah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, Ishak dan para ulama dari kalangan rasionalis berpendapat bahwa Qunut Witir dilakukan sepanjang tahun dan dilakukan sebelum ruku’. Hal ini berdasarkan amalan Ibnu Mas'ud. Juga berdasarkan hadits-hadits yang menerangkan bacaan qunut dalam witir tidak dikaitkan dengan waktu.
d)   Tempat Melakukan Do’a Qunut

1)   Sebelum Ruku’
Imam Malik berpendapat bahwa qunut dilakukan sebelum ruku’, hal ini berdasarkan hadits berikut:
364. Dari Ashim, ia berkata, "Saya bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahu anhu tentang qunut sebelum ruku atau sesudahnya, ia menjawab: sebelum ruku'. Saya berkata, `Sesungguhnya seseorang memberitahuku dari engkau bahwa qunut itu setelah ruku. Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, Dia bohong, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut setelah ruku hanya sebulan."' (HR. Bukhari)
Demikian juga hadits:
365. Dari Ubai bin Kaab, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut sebelum ruku'.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, hadits shahih)
Di antara para ulama yang juga berpendapat bahwa qunut itu dilakukan sebelum ruku adalah Ulama Kuffah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, Ishak dan para ulama dari kalangan rasionalis.
2)   Setelah Ruku’
Imam Syafii, berpendapat bahwa qunut itu dilakukan setelah ruku’. Hal ini berdasarkan hadits:
366. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangkit dari ruku’ pada raka’at terakhir shalat subuh, beliau melakukan Qunut.” (Menurut Ahmad bin All al-Magrizi, dalam kitab "Muhtatshar Kitab AI-Witr" juz I, h. 131, hadits ini sanadnya shahih)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan melalui sanad Abu Hurairah juga disebutkan:
367. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin mendo’akan atau melaknat seseorang beliau melakukan Qunut setelah ruku’.” (HR. Ad-Darimi)
3)   Boleh Sebelum Atau Setelah Ruku’

Dalam tinjauan Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani kedua pendapat di atas sama-sama kuatnya, maka ia mengkompromikan dua hal tersebut dengan mengatakan:
368. "Berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dapat disimpulkan bahwa Qunut yang disebabkan keperluan yang mendesak (nazilah, pen) dilakukan setelah ruku', sedangkan selain qunut nazilah dilakukan sebelum ruku."
Bahkan para sahabat pun berbeda dalam praktek qunut, tetapi yang jelas perbedaan ini bukan pada wilayah yang terlarang.

20. Lain-Lain

a)   Tata Cara Shalat Wanita
Tidak terdapat keterangan dari sunnah yang menerangkan adanya cara-cara khusus untuk wanita yang berbeda dengan cara yang berlaku untuk laki-laki. Bahkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan: “Shalatlah kamu sekalian seperti kalian melihat aku shalat” berlaku secara umum dan mencakup kaum wanita.
369. Ibrahim An-Nakha’i menyatakan: “Dalam shalat wanita melakukan sama dengan yang dilakukan oleh laki-laki.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 1/75/2, dengan sanad shahih)
Hadits yang menyebutkan bahwa dalam sujud wanita harus mengempitkan tangannya ke lambung, sehingga berbeda dengan laki-laki adalah hadits mursal, tidak boleh dijadikan hujjah. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Marasil 87/117, dari Yazid bin Abi Hubaib. Hadits ini telah disebutkan dalam Kitab Adh-Dhaifah no. 2652.
370. Imam Bukhari dalam Kitab At-Tarikh Ash-Shaghir, hlm. 95 meriwayatkan dari Ummu Darda’ hadits shahih berbunyi: “Sesungguhnya (Ummu Darda’) dalam shalat, duduk seperti cara duduk laki-laki, padahal beliau seorang wanita ahli fiqh.
b)   Shalat Rawatib Yang Di Sunnahkan
Pada dasarnya semua shalat rawatib adalah dianjurkan, hanya saja para ulama membaginya menjadi dua bagian, yaitu shalat sunnah Mu’akkadah dan shalat sunnah Ghair Mu’akkadah.
1)   Shalat Rawatib Mu’akkadah
Yang termasuk shalat rawatib mu’akkadah adalah dua raka’at sebelum Shubuh, dua raka’at atau empat raka’at sebelum Dzuhur dan dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah Maghrib, dua raka’at setelah Isya.
Dua raka’at sebelum Shubuh dinamakan pula shalat sunnah qabla fajr.
371. Dari Aisyah radhiallaahu anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dua raka’at Fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya” (HR. Muslim)
372. Dari Ummu Habibah Ramlah radhiallaahu anha ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seorang hamba muslim yang melaksanakan shalat karena Allah dalam setiap hari dua belas raka’at berupa tathawwu’ (sunnah) bukan shalat fardhu melainkan Allah akan membangunkan bagi orang tersebut sebuah istana di surga atau melainkan akan dibangun bagi orang tersebut istana di surga.” (HR. Muslim)
373. Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhu, ia berkata: “Aku hafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh raka’at: Dua raka’at sebelum Dzuhur, dua raka’at setelah Dzuhur, dua raka’at setelah Maghrib di rumahnya, dua raka’at setelah Isya di rumahnya dan dua raka’at sebelum Shubuh. Dan ini merupakan saat dimana seseorang tidak boleh menemuinya” (HR. Bukhari dan Muslim)
374. Dari Abdullah bin Syaqiq ia berkata: 'Aku bertanya kepada Aisyah tentang shalat sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam', ia menjawab: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat empat raka’at sebelum Dzuhur di rumahnya kemudian keluar dan melaksanakan shalat berjama’ah Dzuhur kemudian kembali ke rumah dan melaksanakan shalat dua raka’at” (HR. Muslim)
2)   Shalat Rawatib Ghair Mu’akkadah
Sedangkan yang dimaksud dengan shalat rawatib ghair mu’akkaddah dan sebagian ulama menyebutnya sebagai shalat sunnah muthlaqah adalah:
i) Dua Raka’at Sebelum Ashar
375. Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallaahu anhu ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diantara adzan dan iqamah ada shalat, diantara adzan dan iqamah ada shalat, kemudian dikali ketiga beliau bersabda: “’Bagi siapa saja yang ingin melaksanakannya’” (HR. Bukhari dan Muslim)

ii) Dua Raka’at Sebelum Maghrib

376.
Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallaahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau bersabda: Bagi siapa saja yang mau melaksanakannya. Beliau takut hal tersebut dijadikan oleh orang-orang sebagai sunnah.” (HR. Bukhari)
377. Dan dalam riwayat Abu Dawud: “Shalatlah kalian sebelum Maghrib dua raka’at.” Kemudian beliau bersabda: “Shalatlah kalian sebelum Maghrib dua raka’at bagi yang mau.” Beliau takut orang-orang akan menjadikannya shalat sunnah. (HR. Abu Dawud)
378. Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallaahu anhu ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diantara adzan dan iqamah ada shalat, diantara adzan dan iqamah ada shalat, kemudian dikali ketiga beliau bersabda: “’Bagi siapa saja yang ingin melaksanakannya’” (HR. Bukhari dan Muslim)
iii)  Dua Raka’at Sebelum Isya
379. Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallaahu anhu ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diantara adzan dan iqamah ada shalat, diantara adzan dan iqamah ada shalat, kemudian dikali ketiga beliau bersabda: “’Bagi siapa saja yang ingin melaksanakannya’” (HR. Bukhari dan Muslim)
c)   Berpindah Tempat Ketika Akan Shalat Rawatib

Ada sejumlah riwayat yang menjelaskan bahwa berpindah tempat ketika akan melaksanakan shalat rawatib, baik qabliyah maupun ba’diyyah adalah disunnahkan.
380. Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang imam tidak boleh shalat di tempat dimana ia shalat sehingga ia berpindah tempat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
381. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Apakah kamu merasa lemah (keberatan) apabila kamu shalat untuk maju sedikit atau mundur, atau pindah ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri” (HR. Ibnu Majah)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa berpindah tempat ketika melaksanakan shalat adalah masyru’ (disyariatkan). Dan di antara alasan disyariatkannya hal tersebut adalah untuk memperbanyak tempat sujud atau ibadah, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Al-Baghawi. Karena tempat-tempat ibadah tersebut akan memberi kesaksian di hari akhir nanti sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
382.Pada hari itu bumi menceritakan khabarnya.” (QS. Al-Zalzalah: 4)
Namun jika masjid atau mushalanya sempit, kita bisa saja meminta jama’ah yang lain untuk bergeser ke tempat kita dan kita melaksanakan shalat sunnah rawatib di tempatnya. Tetapi jika memang tidak memungkinkan juga untuk bertukar tempat, maka tidak mengapa kita melaksanakan shalat rawatib di tempat kita melaksanakan shalat fardhu.

d)   Shalat Sunnah Di Rumah
Pelaksanaan shalat sunnah lebih utama dilakukan di dalam rumah kecuali shalat sunnah yang memang diperintahkan untuk dilaksanakan di mesjid, lapangan dan atau secara berjama’ah seperti shalat Tahiyyatul Masjid, shalat Khusuf, shalat Ied dan lain-lain.
383. Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:  “Shalatnya seseorang di rumahnya adalah lebih baik daripada shalatnya di masjidku ini kecuali shalat fardhu” (HR. Abu Dawud, Shahih Sunan Abi Dawud)
384. Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Shalatlah wahai manusia di dalam rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya shalat yang paling utama adalah di rumah kecuali shalat fardhu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
385. Dari Aisyah radhiallahu anha, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat di rumahku empat raka’at sebelum Dzuhur, kemudian beliau keluar (masjid) lalu shalat bersama orang-orang, kemudian beliau masuk kembali ke rumahku, kemudian melaksanakan shalat dua raka’at. Dan beliau shalat Maghrib bersama orang-orang kemudian masuk ke rumah lalu shalat dua raka’at dan beliau melaksanakan shalat Isya berjama’ah, kemudian masuk ke rumahku lalu shalat dua raka’at.” (HR Muslim)
386. Dari Hafshah radhiallahu anha, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila muadzin telah selesai melakukan adzan untuk shalat Shubuh, beliau shalat dua raka’at yang ringan sebelum iqamah.” (HR Bukhari dan Muslim)

e)   Waktu Yang Dilarang Untuk Shalat Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan ada waktu-waktu yang tidak seharusnya dilaksanakan shalat sunnah di dalam waktu itu. Ada beberapa hadits yang menerangkan hal itu. Diantaranya adalah:
387. Dari Abi Said Al-Khudhri radhiallahu anhu berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak ada shalat (sunnah) setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit. Tidak ada shalat (sunnah) setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.” (HR. Muttafaq `alaihi dan lafaz hadits ini diriwayatkan oleh Muslim)
Hadits lainnya yang juga menerangkan tentang waktu yang tidak boleh shalat sunnah di dalamnya adalah:
388. Dari `Uqbah bin Amir radhiallahu anhu bahwa ada tiga waktu dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat di dalamnya dan menguburkan orang mati: “[1] Ketika matahari terbit hingga mulai naik, [2] pada saat matahari di atas ubun-ubun hingga sedikit condong, [3] ketika matahari condong menjelang ghurub (terbenam).” (HR. Muslim)
Asy-Syafi`i mengatakan bahwa larangan untuk shalat pada saat matahari tepat di atas ubun-ubun itu tidak berlaku untuk hari Jum’at.
f)   Shalat Sendirian Dengan Suara Keras
Para ulama membagi shalat berdasarkan cara membacaanya menjadi dua, yaitu:
1)   Shalat Jahriyyah
Yaitu shalat-shalat yang disunnahkan untuk mengeraskan bacaan Al-Fatihah dan surat di dalamnya. Yang termasuk kategori ini adalah shalat Maghrib, Isya, Shubuh, shalat Qiyamul-Lail.
2)   Shalat Sirriyyah
Yaitu shalat-shalat yang disunnahkan untuk mensirkan (memelankan) bacaannya. Yang termasuk kategori ini adalah shalat Dzuhur, Ashar dan lain-lain.
Disunnahkannya pelaksanaan shalat, baik secara jahriyyah maupun siriyyah sebagaimana di atas, berlaku untuk shalat yang dilakukan secara berjama’ah maupun sendiri-sendiri atau dalam istilah fuqaha ‘munfarid’.
g)   Memanjangkan Kain Melebihi Mata Kaki (Isbal)
Dalam nash hadits, masalah isbal atau memanjangkan kain melebihi mata kaki ini memang banyak disebutkan. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut:
389.Makan, minum, berpakaian dan bersedekahlah dengan tidak israf (berlebihan) dan makhilah.” (HR. Bukhari)
390.Bagian kaki yang tertutup kain di bawah mata kaki, akan disiksa di neraka.” (HR. Bukhari)
391.Pada Hari Kiamat, Allah tidak mau melihat hamba-Nya yang memanjangkan kainnya karena sombong.” (HR. Bukhari)
392.Orang yang memanjangkan kainnya karena riya`, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR. Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
393.Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya karena meyombongkan diri, Allah tidak akan melihat amalnya di hari kiamat.” Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu bertanya, ”Ya Rasulullah, bagaimana jika salah satu sudut kainku menjuntai ke tanah, namun aku tidak sengaja melakukannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Kamu bukan termasuk orang yang sengaja dan berniat sombong.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan hal itu. Namun berkaitan dengan bentuk hukum yang diistimbat, para ulama berbeda pandangan tentang keharamannya.
Sebagian ulama mengaitkan hubungan antara isbal dengan motifnya, yaitu sombong dan bangga diri. Sehingga isbal itu menjadi haram bila motvasinya adalah riya, sombong dan bangga diri. Sedangkan bila tidak disertai dengan motif tersebut, maka hukumnya boleh.
Para ulama yang mengaitkan hubungan antara isbal dengan motif sombong mendasarkan pendapat mereka dengan hadits Abu Bakar, dimana beliau menanyakan hukum isbal itu. Dan ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan Abu Bakar memanjangkan kainnya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu bahwa motifnya bukan riya dan sombong.
 Diantara ulama yang mendukung pendapat ini antara lain adalah Al-Imam An-Nawawi dan Al-Hafiz Ibnu Hajar serta banyak lagi di antara para pensyarah hadits.
Namun sebagian ulama lainnya menetapkan secara mutlak keharamannya, lepas dari apa motivasinya. Pendapat ini barangkali mengacu kepada beratnya ancaman buat orang yang memanjangkan pakaian hingga melebihi mata kaki.
Paling tidak, hukum isbal itu tidak mutlak satu pendapat, karena masih didapat perbedaan pandangan diantara para ulama salaf sendiri tentang kemutlakan haramnya.
Namun sebagai bentuk keluar dari khilaf, ada baiknya bila seseorang berusaha agar tidak melakukan hal yang akan menimbulkan perbedaan dan khilaf.
h)   Menguap Ketika Shalat
Menguap termasuk perbuatan yang dilarang dalam shalat tetapi tidak membatalkan. Oleh karena itu, jika seseorang menguap ketika shalat, maka ia diharuskan untuk menahan sekuatnya kalau tidak sanggup, ia boleh menutup mulutnya dengan tangan.
394. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian menguap ketika shalat, maka hendaklah ia menahan (agar tidak menguap) semampunya karena syetan akan masuk.” (HR. Muslim)
395. Para ulama berkata: “Perintah untuk menahan untuk tidak menguap serta menolaknya juga perintah untuk menaruh tangan di mulut bertujuan agar syetan tidak sampai kepada maksudnya sehingga syetan tidak bisa mengganggu, memasuki mulut orang tersebut dan juga tidak bisa mentertawakannya” (Syarah Shahih Muslim An-Nawawi 18)

i)    Mengusap Muka Setelah Shalat
Shalat merupakan ibadah mahdlah yang sudah jelas ketentuannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya kita harus mengikuti sunnah beliau agar tidak termasuk golongan yang mengada-ada dalam agama.
Banyak orang yang mengusap muka mereka setelah melakukan shalat ataupun berdo'a. Namun benarkah amalan itu pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Berikut ini kami akan sebutkan sejumlah dalil yang menjadi alasan mereka yang biasa melakukan hal tersebut serta bagaimana pandangan para ulama terhadap dalil-dali tersebut.
 396. Dari Hammad ibn 'Isa al-Juhani dari Hanzalah ibn Abi Sufyan al-Jamhi dari Salim ibn 'Abdullah dari bapaknya dari 'Umar ibn al-Khatthab: “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo'a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu ‘Asakir)
At Tirmidzi berkata: "Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn 'Isa Al-Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya."
Bagaimanapun juga hadits ini lemah, berdasarkan pada perkataannya, Al-Hafidh Ibnu Hajar di dalam At Taqrib, dimana beliau menjelaskan tentang riwayat hidupnya dalam At Tahdzib: "Ibnu Ma'in berkata: 'Dia adalah Syaikh yang baik', Abu Hatim berkata: 'Lemah di dalam (meriwayatkan) hadits', Abu Dawud berkata: 'Lemah, dia meriwayatkan hadits-hadits munkar'.
Hakim dan Naqash berkata: 'Dia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak kuat dari Ibnu Juraij dan Ja'far Ash Shadiq', Dia dinyatakan lemah oleh Ad-Daruqutni, Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia meriwayatkan sesuatu yang salah melalui jalur Ibnu Juraij dan Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, tidaklah diperbolehkan untuk menjadikannya sebagai sandaran, Ibnu Makula berkata: 'mereka semua mencap hadits-hadits dari dia sebagai hadits lemah'".
Hadits yang sejenis dengan hadits yang pertama adalah:
397. Dari Ibnu Lahi'ah dari Hafsh bin Hisyam bin 'Utbah bin Abi Waqqash dari Sa'ib bin Yazid dari ayahnya: "Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya." (HR. Abu Dawud)
Ini adalah hadits dhaif berdasarkan pada Hafsh bin Hisyam karena dia tidak dikenal (majhul) dan lemahnya Ibnu Lahi'ah (Taqribut Tahdzib).
Hadits ini tidak bisa dikuatkan oleh dua jalur hadits berdasarkan lemahnya hadits yang pertama.
398. Dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka'ab dari Ibnu 'Abbas radhiallaahu anhu: "Jika kamu berdo'a kepada Allah, kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan di atas), dan jangan membaliknya, dan jika sudah selesai (berdo'a) usapkan (telapak tangan) kepada muka." (HR. Ibnu Majah, Ibnu Nashr, Ath-Thabarani dan Hakim)
Lemahnya hadits ini ada pada Shalih bin Hassan, sebagai munkarul hadits, seperti dikatakan Al-Bukhari dan Nasa'i, "Dia tertolak dalam meriwayatkan hadits"; Ibnu Hibban berkata: "Dia selalu menggunakan (mendengarkan) penyanyi wanita dan mendengarkan musik, dan dia selalu meriwayatkan riwayat yang kacau yang didasarkan pada perawi yang terpercaya"; Ibnu Abi Hatim berkata dalam Kitabul 'Ilal (2/351): "Aku bertanya pada ayahku (yaitu Abu Hatim al-Razi) tentang hadits ini, kemudian beliau berkata: 'Munkar'."
Hadits dari Shalih bin Hasan ini diriwayatkan juga oleh jalur lain yaitu dari Isa bin Maimun, yaitu yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ka'ab, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashr. Tapi hal ini tidaklah merubah lemahnya hadits ini, sebab Isa bin Maimun adalah lemah.
Ibnu Hibban berkata: "Dia meriwayatkan beberapa hadits, dan semuanya tertolak". An Nasa'i berkata: "Dia tidak bisa dipercaya."
Hadits dari Ibnu Abbas ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Baihaqi, melalui jalur 'Abdul Malik ibn Muhammad ibn Aiman dari 'Abdullah ibn Ya'qub ibn Ishaq dari seseorang yang meriwayatkan kepadanya dari Muhammad ibn Ka'ab, dengan matan sebagai berikut:
399. "Mintalah kepada Allah dengan (mengangkat) kedua telapak tanganmu, dan minta pada-Nya dengan membaliknya, dan jika kau selesai, maka usaplah mukamu dengannya."
Hadits ini sanadnya dhaif. Abdul Malik dinyatakan lemah oleh Abu Dawud. Dalam hadits ini terdapat Syaikhnya Abdullah bin Ya'qub yang tidak disebutkan namanya, dan tidak dikenal - Bisa saja dia adalah Shalih Bin Hassan atau Isa bin Maimun. Keduanya sudah dijelaskan sebelumnya.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim melalui jalur Muhammad ibn Mu'awiyah, yang berkata bahwa Mashadif ibn Ziyad al-Madini memberitahukan padanya bahwa dia mendengar hal ini dari Muhammad ibn Ka'ab al-Qurazi. Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu Mu'awiyah dinyatakan kadzab oleh Daruqutni, maka hadits ini adalah maudhu'.
Abu Dawud berkata tentang hadits ini: "hadits ini telah diriwayatkan lebih dari satu jalur melalui Muhammad ibn Ka'ab; semuanya tertolak".
Mengangkat kedua tangan ketika melakukan qunut memang terdapat riwayat dari Rasulullah tentangnya, yaitu ketika beliau berdo’a terhadap kaum yang membunuh 15 pembaca Al Qur'an (Riwayat Ahmad & Ath-Thabarani Al-Mu'jamus-Shaghir) dari Anas dengan sanad shahih. Serupa dengan yang hadits yang diriwayatkan dari Umar dan yang lainnya ketika melakukan qunut pada shalat Witir.
Namun mengusap muka sesudah do'a qunut maka tidaklah pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga dari para sahabatnya.
Sedangkan mengusap muka setelah berdo’a diluar shalat berdasarkan pada dua hadits. Dan tidaklah dapat dikatakan benar kedua hadits tersebut bisa menjadi hasan, seperti yang dikatakan oleh Al Manawi, berdasarkan pada lemahnya sanad yang ditemukan pada hadits tersebut.
Inilah yang menjadikan alasan Imam An Nawawi dalam Al Majmu bahwa hal ini tidak dianjurkan, menambahkan perkataan Ibnu 'Abdus-Salaam yang berkata bahwa: "hanya orang yang sesat yang melakukan hal ini."
Bukti bahwa mengusap muka setelah berdo'a tidak penah dicontohkan adalah dikuatkan bahwa terdapat hadits-hadits yang tsabit yang menyatakan diangkatnya tangan untuk berdo'a, tapi tidak ada satupun yang menjelaskan mengusap muka setelahnya, dengan hal ini, wallahu a'lam, hal ini tidak diterima dan tidak pernah dicontohkan.
Sumber: Kitab Irwa'ul Ghalil 2/178-182. Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.

400. Dari Umar radhiallaahu anhu, ia berkata: “Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, beliau tidak akan menarik keduanya sampai beliau mengusap wajah dengan keduanya.” (HR. At-Tirmidzi. Hadits ini didhaifkan oleh Al-‘Iraqi ketika mentakhrij Ihya ‘Ulumiddin)
401. Ibnu Abbas radhiallaahu anhu berkata: “Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a beliau menggabungkan kedua telapak tangannya dan bagian dalam keduanya ditempatkan dengan wajahnya.” (HR. Ath-Thabrani. Hadits ini juga didhaifkan oleh Al-‘Iraqi ketika mentakhrij Ihya ‘Ulumiddin)
402. Dari As-Saib bin Yazid dari bapaknya radhiallaahu anhu, berkata:
Sesungguhnya Nabi apabila berdo’a beliau mengangkat kedua tangannya dan mengusap wajah dengan keduanya.” (HR. Abu Dawud. Hadits ini dhaif karena dalam rawinya ada yang bernama Abdullah bin Luhai’ah, ‘Aunul Ma’bud IV/213)
403. Dari Ibnu Abbas radhiallaahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila engkau berdo’a kepada Allah, maka berdo’alah dengan bagian dalam telapak tanganmu dan janganlah kalian berdo’a dengan bagian atas dari keduanya, apabila engkau telah selesai maka usaplah wajahmu dengan keduanya” (HR. Ibnu Majah. Hadits ini didhaifkan oleh Al-Bani dalam Kitab Dhaif Sunan Ibnu Majah)
Karena kedudukan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap wajahnya dengan kedua tanganya sehabis berdo’a adalah hadits-hadits yang oleh sebahagian ulama dikategorikan sebagai hadits-hadits yang lemah/dhoif, maka para ulama berbeda pendapat tentang disunahkan atau tidaknya hal tersebut.
Imam As-Shan’ani dalam kitabnya Subulus-Salam menyatakan bahwa hal tersebut disunahkan berdasarkan hadits-hadits di atas (Fathul ‘Allam IV/1794). Tetapi Syeikh Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa hal tersebut tidak disunnahkan (Al-Fatawa 22/514-519).
j)   Shalat Di Akhir Waktu
Dalam kondisi orang yang dalam kesempitan dan tidak terkejar lagi untuk melakukan shalat karena waktunya sudah sangat kepepet masuk ke waktu shalat yang lain, maka yang harus dikerjakan adalah tetap melakukan shalat meski waktunya hampir habis.
Bahkan meskipun ketika sedang shalat itu waktunya benar-benar telah habis dan terdengar adzan untuk shalat berikutnya. Dalam kasus seperti ini, kita tidak perlu membatalkan shalat karena beranggapan bahwa sudah keluar dari waktunya.
Hal itu dilandasi dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Muslim yang menyebutkan syahnya hal tersebut.
404. Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Shubuh sebelum terbitnya matahari, maka dia mendapatkan shalat subuh itu. Dan siapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka dia mendapatkan shalat Ashar itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun tentu saja hal itu tidak boleh dijadikan kebiasaan, kecuali dalam keadaan terentu saja dimana memang kita tidak mungkin menghindarinya, misalnya karena salah perhitungan dan terjebak macet total yang tidak memungkinkan untuk berhenti dan shalat di jalan. Atau karena ketiduran dan kesiangan, apalagi dengan adanya larangan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
405. Ali radhiallaahu anhu mengabarkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya, “Hai Ali, tiga perkara janganlah engkau mengakhirkannya. Yaitu shalat apabila telah tiba (waktunya); jenazah apabila telah sempurna (kematiannya), dan wanita jika telah menemukan pasangan yang sepadan dengannya.” (HR. At-Tirmidzi)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar