Kamis, 28 Juli 2011

Pedoman Shalat II


PEDOMAN SHALAT

II. SEPUTAR SHALAT

Shalat merupakan rukun Islam yang kedua dan diwajibkan pada waktu yang telah ditentukan. Shalat adalah salah satu ibadah mahdhah (murni) yang harus dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengenai bacaan-bacaan dalam shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah, juga harus sesuai contoh yang diberikan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang banyak diriwayatkan dalam hadits-hadits yang shahih.
35.Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).   
36.Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak ada petunjuk dari kami, maka amalan itu ditolak.” (HR. Muslim).
Shalat yang didirikan sebanyak lima kali setiap hari, dengannya akan didapatkan bekas/pengaruh yang baik bagi manusia dalam suatu masyarakatnya yang merupakan sebab tumbuhnya rasa persaudaraan dan kecintaan diantara kaum muslimin ketika berkumpul untuk menunaikan ibadah yang satu di salah satu dari sekian rumah milik Allah Subhanahu wa Ta'ala (masjid).
37. "Shalat lima waktu, shalat Jum'at ke shalat Jum 'at lainnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
            Vitalitas shalat di antara sekian banyak ragam ibadah adalah aksioma yang sudah mengakar dalam aqidah dan keyakinan seorang mukmin. Betapa tidak? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang shalat dua kali, dalam deretan syarat keberuntungan mukmin di hadapan Allah yaitu:
38. "Sungguh beruntung orang-orang yang beriman; Yaitu orang-orang yang khusu' dalam shalatnya... " sampai akhir ayat: " ...Yaitu orang-orang yang selalu melihara shalat-shalat mereka... (Al-Mukminun: 1-9)
39. "Kemudian Allah menganugerahkan bagi mereka Jannah Firdaus nan abadi." (Al-Mukminun: 10)
            Dengan shalat, pribadi mukmin dapat menggapai puncak kebahagian tertinggi, sebagaimana tersebut di atas; dan jika serampangan menunaikannya, seorang mukmin juga bisa terperosok ke jurang Neraka Jahanam.
40. "Maka Narr Wail bagi mereka yang shalat; yaitu orang-orang yang melalaikan shalatnya itu." (Al-Ma'un: 3-4)
            Orang-orang yang menyadari betapa penting kedudukan dan martabat shalat dalam Islam, serta mengetahui bagaimana cara melaksanakannya dengan sebaik-baiknya akan memperoleh pahala, keutamaan, dan kemuliaan.
41. Berbeda halnya dengan keadaan seseorang yang tidak tahu sama sekali atau sedikit tahu tentang cara shalat yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana beliau isyaratkan dalam sabdanya: "Sesungguhnya hamba yang melakukan shalat yang diwajibkan kepadanya ada yang mendapat ganjaran sepersepuluhnya, ada yang mendapat sepersembilannya, ada yang mendapat seperdelapannya, ada yang mendapat sepertujuhnya, ada yang mendapat seperenamnya, ada yang mendapat seperlimanya, ada yang mendapat seperempatnya, ada yang mendapat sepertiganya, atau ada yang mendapat setengahnya.” (HR. Ibnu Mubarak, Abu Dawud, dan Nasa'i dengan sanad jayyid)
Allah telah mengecualikan orang-orang yang senantiasa memelihara shalatnya dari kebiasaan buruk manusia pada umumnya, yaitu berkeluh kesah dan kurang bersyukur, sebagaimana disebutkan dalam fiman-Nya:
42.Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh kesah lagi kikir; apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabi1a ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang shalat.” (Al-Ma'aru: 19-21)
Shalat adalah media efektif untuk mengerem manusia dari berbagai perbuatan maksiat dan kemungkaran:
43.Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu (dapat) mencegah perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45)
Sebagai makhluk sosial, manusia juga pasti dilingkungi oleh komunitas hidup yang akrab dengan beragam problematika. Ketabahan jiwa menghadapi berbagai persoa1an menjadi senjata ampuh menuju kebahagiaan hidup. Bagi seorang mukmin, tentu saja hubungan yang menyeluruh dan berkualitas dengan Sang Maha Pencipta, yang tak lain adalah shalat:
44. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153)
Gelombang kehidupan yang terkadang bergolak amat keras juga seringkali mengombang-ambingkan seorang mukmin antara ketaatan dan kemaksiatan.
Kitabullah sebagai pegangan, haruslah kita pelihara dengan sekuat tenaga.
            Salah satu di antara kiat jitu melanggengkan sikap konsistensi kita berpegang kapada hukum ilahi adalah dengan memperbaiki kualitas shalat:
45. "Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan Kami beri pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang mengadakan perbaikan." (Al-A'raf: 170)
            Oleh sebab itu, di antara hal paling penting dari perintah Allah yang harus disosialisasikan dalam keluarga adalah juga, shalat. Melalaikan shalat adalah malapetaka. Sebaliknya, menyibukkan diri dengan ibadah tak akan membuat manusia celaka, sengsara ataupun merana.
46. "Dan perintahkanlah kepada keluarga kamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta dari kamu rezki. Kamilah yang akan memberimu rezki. Dan akibat (yang baik) itu ada1ah bagi orang-orang yang bertakwa." (Ath-Thaha: 132)


A. PENETAPAN SHALAT

                Diantara sekian banyak bentuk ibadah dalam Islam, shalat adalah yang pertama kali di tetapkan kewajibannya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dimana Nabi menerima perintah dari Allah tentang shalat pada malam mi'raj (perjalanan ke langit) tanpa perantara.
            Abu Dzar radhiallahu anhu mengabarkan, Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bahwa ketika beliau berada di Hatim (dekat Ka'bah), Jibril 'alaihi sallam mendatanginya dan membelah dadanya kemudian membersihkannya dengan air zamzam. Setelah itu Jibril mengambil sebuah bejana emas penuh berisi hikmah dan iman, lalu menuangkannya ke dada beliau. sesudah itu Jibril menutup dada beliau kembali.
            Selanjutnya Jibril ‘alaihi sallam memegang tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan membawanya naik ke langit dunia. Sesampai di langit Malaikat Jibril meminta kepada penjaganya agar dibukakan pintu.
"Siapakah itu?" tanya Malaikat penjaga langit. "Aku Jibril."
"Siapakah yang bersama engkau?"
"Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam "
"Apakah dia sudah mendapat panggilan?"
"Ya, dia telah mendapat panggilan."
            Setelah mendengar jawaban malaikat Jibril, penjaga langit dunia itu membuka pintu dan mengucapkan sambutan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Di langit pertama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang lelaki yang di sebelah kanan dan kirinya samar-samar tampak wujud-wujud hitam. Apabila lelaki itu melihat ke sebelah kanan, dia tertawa. Sebaliknya jika lelaki itu menengok ke sebelah kirinya, dia menangis.
            "Selamat datang, hai Nabi dan anak yang saleh." Sambut lelaki tersebut.
            "Siapakah dia, hai Jibril?" tanya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Jibril 'alaihi sallam menjelaskan, "Dialah Adam 'alaihi sallam. Yang tampak hitam di kanan kirinya itu ialah ruh umatnya. Yang sebelah kanan calon penduduk surga, sedangkan yang di sebelah kirinya (calon) penduduk neraka. Karena itu jika menengok ke kanan dia tertawa, dan apabila menengok ke kiri dia menangis."     
            Kemudian Malaikat Jibril 'alaihi sallam membawa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke langit kedua, ketiga dan seterusnya. Setiap akan naik ke langit berikutnya, Malaikat Jibril 'alaihi sallam memohon kepada penjaga pintu langit masing-masing untuk membukakan pintunya dan terjadilah dialog sebagaimana ketika akan memasuki langit pertama. Di langit-langit selanjutnya, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bertemu dan diperkenalkan oleh Jibril 'alaihi sallam dengan Nabi Idris 'alaihi sallam, Nabi Isa 'alaihi sallam, Nabi Musa 'alaihi sallam, dan Nabi Ibrahim 'alaihi sallam. Di setiap langit itu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mendapatkan sambutan yang baik dari para Nabi 'alaihi sallam itu sebagaimana sambutan yang telah diberikan oleh Nabi Adam 'alaihi sallam.
            Ibnu Syihab mendengar dari Ibnu Hazm bahwa Ibnu Abbas radhiallahu anhu dan Abu Habbah Al Anshori radhiallahu anhu mengungkapkan, Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bahwa selanjutnya beliau dibawa naik ke Mustawa, dimana beliau mendengar goresan kalam. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam shalat limapuluh kali sehari semalam. Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam turun kembali membawa perintah tersebut dan bertemu Nabi Musa 'alaihi sallam.
"Kewajiban apa yang diperintahkan Tuhanmu atas umatmu?" tanya Nabi Musa 'alaihi sallam.
"Allah memerintahkan shalat wajib lima puluh kali," jawab Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Kembalilah menghadap Tuhanmu," saran Nabi Musa 'alaihi sallam. "Sungguh umatmu tidak akan sanggup melakukan shalat sebanyak itu."
            Karena itu Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengurangi perintah shalat menjadi separohnya. Kemudian beliau kembali kepada Nabi Musa dan menceritakan kewajiban shalat yang sudah dikurangi setengahnya.
"Kembalilah menghadap Tuhanmu," saran Nabi Musa 'alaihi sallam untuk kedua kalinya. "Sungguh umatmu tidak akan sanggup melakukan shalat sebanyak itu."
            Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala (beberapa kali lagi). Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan kewajiban shalat hanya lima waktu namun nilainya sama dengan shalat lima puluh kali. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Keputusan ini tidak dapat dirubah lagi."
Sesudah itu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Nabi Musa 'alaihi sallam lagi. Dan untuk kesekian kali beliau menyarankan agar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menghadap kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Aku malu terhadap Tuhanku."
Selanjutnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan, "Lalu Jibril 'alaihi sallam membawaku melanjutkan perjalanan sampai di Sidratul Muntaha. Tempat tersebut diselimuti aneka warna yang tidak aku ketahui namanya. Kemudian aku dimasukkan ke surga. Di dalamnya terdapat kubah-kubah dari permata dan tanahnya dari kasturi. (HR. Bukhari dan Muslim)
Keterangan:
Imam Muslim menerangkan hadits tersebut dalam Shahihnya Kitabul Iman. Bukhari memaparkan dalam Shahihnya Kitabush Shalah. Abu Awanah mengungkapkan dalam Musnadnya. Dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah.

B. KEDUDUKAN SHALAT


Dipanggilnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghadap Allah untuk menerima hadiah shalat mengindikasikan tentang pentingnya ibadah shalat di sisi Allah, sekaligus sebagai isyarat bagi kehormatan umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di sisi-Nya.
            Kalau kita melihat pilar-pilar Islam yang lima, maka kita akan menemukan bahwa seorang Muslim dibenarkan melaksanakan sebagian pilar tersebut dan meninggalkan sebagian yang lain karena sebab-sebab tertentu. Misalnya, seorang Muslim yang fakir dan tidak memiliki bahan makanan pokok dibolehkan untuk tidak menunaikan kewajiban zakat dan haji. Seorang Muslim yang menderita sakit selama bertahun-tahun diperbolehkan tidak melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan.
            Bahkan apabila seorang Muslim adalah orang yang fakir dan telah menderita sakit selama bertahun-tahun maka gugurlah baginya tiga kewajiban tersebut sekaligus, yaitu zakat, puasa, dan haji. Ia hanya melaksanakan dua kewajiban saja, yaitu syahadat dan shalat. Dua kalimat syahadat yaitu bersaksi bahwa "tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah." Kewajiban mengucapkan dua kalimat syahadat ini pun hanya sekali dalam seumur hidup. Kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam merupakan satu-satunya kewajiban yang tidak dapat digugurkan oleh seorang Muslim di mana pun dan dalam kondisi apa pun, baik dalam kondisi kaya, miskin, sehat, sakit, bahagia, maupun sengsara. Dengan demikian terdapat perbedaan yang nyata antara pilar Islam dengan pilar Muslim.
            Oleh karena itu, shalat merupakan ibadah yang membedakan antara orang Muslim dengan orang non Muslim.
47. Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Pemisah di antara kita dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah).
48. Jabir radhiallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (Batas) antara seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
49. Tentang keputusan-Nya terhadap orang-orang kafir, Allah berfirman: "Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu [bagaikan debu yang beterbangan].” (Al-Furqaan: 23)
            Shalat juga disebut sebagai tiang agama, sehingga ia wajib dilaksanakan sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Hal itu semata-mata dimaksudkan untuk menjadi bukti loyalitas mutlak manusia kepada Tuhannya. Dikarenakan hal itu pula shalat disebut sebagai pilar Islam yang paling utama. Bukan karena sebab itu saja shalat disebut sebagai pilar Islam yang paling utama, namun karena ia juga telah mencakup seluruh pilar Islam yang lima yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.
            Shalat memang merupakan pilar Islam yang mencakup seluruh pilar Islam yang lain. Pilar Islam yang pertama adalah syahadat dan itu jelas terdapat dalam shalat, dimana dalam shalat kita diwajibkan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
            Dalam shalat juga terdapat pilar zakat yang wajib untuk kita tunaikan, karena zakat artinya mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki untuk diberikan kepada para fakir miskin dan sejumlah golongan yang berhak menerimanya. Harta benda diperoleh dari hasil usaha dan bekerja, yang dilakukan dengan menggunakan waktu yang memadai. Dengan demikian waktu merupakan harta yang paling berharga bagi manusia. Dengan waktu manusia bisa bekerja, dengan bekerja manusia bisa memperoleh harta, dan dengan harta manusia bisa menunaikan zakat. Pelaksanaan shalat membutuhkan waktu yang semestinya, yang kita gunakan untuk bekerja (mencari harta), maka melaksanakan shalat sama saja dengan mengeluarkan zakat harta yang kita miliki, yaitu waktu. Jadi shalat seakan-akan sebagai zakat waktu.
            Dalam shalat juga terdapat kewajiban berpuasa, karena pengertian puasa adalah menahan diri dari nafsu perut (makan dan minum) dan nafsu biologis (seks) dalam batas waktu tertentu. Seseorang yang sedang melaksanakan shalat juga harus menahan dirinya dari nafsu perut dan nafsu biologis. Bahkan puasa dalam shalat tidak terbatas pada menahan diri dari nafsu perut dan biologis, tetapi juga harus menahan diri dari gerak yang berlebihan dan menahan mulut dari bercakap-cakap yang tidak dianjurkan.
            Dalam shalat juga terdapat kewajiban ibadah haji, karena ketika sedang shalat kita diwajibkan untuk menghadap ke arah Ka'bah, yang merupakan kiblat dalam shalat. Jadi Ka'bah yang menjadi tumpuan para jamaah haji setiap tahun seakan-akan selalu berada dalam benak kita (ketika sedang melaksanakan shalat).
            Dengan demikian benarlah bahwa shalat merupakan ibadah yang menggabungkan seluruh pilar Islam yang lima, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.
50. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: "Pondasi (segala) urusan adalah Islam, dan tiangnya (Islam) adalah shalat, sedangkan yang meninggikan martabatnya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
            Jadi, jika seseorang tidak melaksanakan ibadah shalat, maka perlulah dipertanyakan kualitas keislamannya dan juga kecintaannya kepada islam.
51. Imam Ahmad berkata: "Sesungguhnya kualitas keislaman seseorang adalah tergantung pada kualitas ibadah shalatnya. Kecintaan seseorang kepada Islam juga tergantung pada kecintaan dalam mengerjakan shalat. Oleh karena itu kenalilah dirimu sendiri wahai hamba Allah! Takutlah kamu jika nanti menghadap Allah Azza Wa Jalla tanpa membawa kualitas keislaman yang baik. Sebab kualitas keislaman dalam hal ini ditentukan oleh kualitas ibadah shalatmu." (Ibn al Qayyim, ash Sholah, hal 42 dan ash Sholah wa hukmu taarikihaa)
            Demikian pentingnya ibadah shalat, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita akan keutamaannya dalam salah satu sabdanya:
52.Sesungguhnya amal seorang hamba yang pertama kali dihisab pada Hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka ia berbahagia dan selamat. Dan apabila shalatnya rusak, maka ia akan celaka dan merugi” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)


C. PENGERTIAN SHALAT

Shalat berasal dari bahasa Arab: As-Shalah. Shalat menurut Bahasa  (Etimologi)  artinya adalah do’a.
Sedangkan menurut Istilah / Syari'ah (Terminologi), shalat adalah “suatu ibadah yang terdiri atas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu/khusus yang dibuka/dimulai dengan takbir (takbiratul ihram) diakhiri/ditutup dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.”

D. HUKUM SHALAT

                Melaksanakan shalat adalah fardhu 'ain bagi setiap orang yang sudah mukallaf (terbebani kewajiban syari'ah), baligh (telah dewasa/dengan ciri telah bermimpi), dan 'aqil (berakal).
53. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka hanya beribadah/ menyembah kepada Allah sahaja, mengikhlaskan keta'atan pada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan hanif (lurus), agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, demikian itulah agama yang lurus". (Surat Al-Bayyinah: 5).
            Shalat disyari'atkan sebagai bentuk tanda syukur kepada Allah, untuk menghilangkan dosa-dosa, ungkapan kepatuhan dan merendahkan diri di hadapan Allah, menggunakan anggota badan untuk berbakti kepada-Nya yang dengannya bisa seseorang terbersih dari dosanya dan tersucikan dari kesalahan-kesalahannya dan terajarkan akan ketaatan dan ketundukan.
            Allah telah menentukan bahwa shalat merupakan syarat asasi dalam memperkokoh hidayah dan ketakwaan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
54. "Alif Laaam Miiim. Kitab (Al Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya, menjadi petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka." (QS. Al Baqarah : 1-2).


E. RUKUN-RUKUN SHALAT
                Menurut bahasa kata rukun berarti bagian dari sesuatu dan sesuatu tersebut tidak akan ada kecuali dengannya. Sujud merupakan rukun dalam shalat karena ia merupakan bagian dari shalat dan shalat dianggap tidak ada (tidak sah) kecuali dengan melakukan sujud sebagai salah satu rukunnya.
            Orang yang meninggalkan rukun-rukun shalat baik dengan sengaja maupun karena lupa, shalatnya dianggap batal atau tidak sah. Yang termasuk rukun shalat adalah:
  1. Berdiri bagi yang mampu, bila tidak mampu berdiri maka dengan duduk, bila tidak mampu duduk maka dengan berbaring secara miring atau terlentang.
    Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Peliharalah semua shalat dan shalat wustha dan berdirilah untuk Allah dengan khusyu” (QS. Al-Baqarah: 238)
55. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shalatlah sambil berdiri, jika kamu tidak mampu shalatlah sambil duduk dan jika kamu tidak mampu shalatlah sambil berbaring” (HR. Bukhari dari Imran bin Hushain)
  1. Takbiratul Ihram ketika memulai shalat.
56. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kunci shalat adalah bersuci, dan pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah mengucapkan salam” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
  1. Membaca Al-Fatihah.
57. Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak syah shalat bagi orang yang tidak membaca surat Al-Fatihah” (HR Muslim)
  1. Ruku’.
58. Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang salah dalam shalatnya: “Kemudian ruku’lah sehingga kamu thuma’ninah dalam melaksanakannya” (HR Bukhari)
  1. I'tidal.
59. Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang salah dalam shalatnya: “Kemudian berdirilah sehingga engkau tegak berdiri (I’tidal)” (HR Bukhari)
  1. Sujud.
60. Perintah  Rasulullah  shallallahu  ‘alaihi wa sallam kepada orang yang salah dalam   shalatnya:   “Kemudian  sujudlah,  sehingga  kamu  thuma’ninah   dalam melaksanakannya”(HR Bukhari)
61. Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang, Dahi –sambil beliau mengisyaratkan pada hidungnya-, dua tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki” (HR Bukhari)
7.    Bangun dari sujud.
62. Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang salah dalam shalatnya: “Kemudian bangkitlahlah sehingga kamu duduk dengan thuma’ninah” (HR Bukhari)
  1. Duduk di antara dua sujud.
63. Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang salah dalam shalatnya: “Kemudian bangkitlahlah sehingga kamu duduk dengan thuma’ninah” (HR Bukhari)
9.    Thuma'ninah ketika melakukan setiap rukun shalat.
Thuma'ninah adalah sikap tenang untuk sementara waktu setelah anggota badan yang digunakan tetap dan stabil. Jangka waktunya, menurut para ulama, kira-kira sama dengan membaca satu kali tasbih.
  1. Tasyahud Akhir
11.  Duduk Tasyahud Akhir
  1. Shalawat kepada Nabi
13.  Tertib dalam melaksanakan setiap rukun shalat
  1. Salam
64. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kunci shalat adalah bersuci, dan pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah mengucapkan salam” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
65. "Kunci shalat adalah bersuci, pembukanya takbir dan penutupnya adalah mengucapkan salam." (HR. Al-Hakim dan disahkan Adz-Dzahabi)

F. YANG WAJIB DALAM SHALAT

Wajib dalam shalat adalah apa yang diperintahkan oleh syara’ untuk dilaksanakan dalam shalat. Jika ditinggalkan dengan sengaja maka shalat tersebut adalah batal akan tetapi jika ia meninggalkan perintah tersebut karena lupa maka diharuskan melakukan sujud sahwi. Yang termasuk wajib shalat adalah:
1.     Takbir selain takbiratul Ihram.
  1. Tasmi, atau mengucapakan “Sami’ Allahu Liman Hamidah”.
  2. Tahmid, atau mengucapakan do’a “Rabbanaa lakal Hamdu” atau yang sejenisnya.
  3. Mengucapkan do’a-do’a ruku’.
  4. Mengucapakan do’a-do’a sujud.
  5. Mengucapakan do’a ketika duduk di antara dua sujud.
  6. Tasyahud Awal.
  7. Duduk Tasyahud Awal

G. YANG SUNNAH DALAM SHALAT

Sunnah dalam shalat adalah amaliah dalam shalat yang apabila ditinggalkan, baik dengan sengaja maupun karena lupa tidak membatalkan shalat dan tidak diwajibkan melakukan sujud sahwi. Di antara sunnah-sunnah dalam shalat adalah:
  1. Mengangkat kedua tangan ketika takbir.
  2. Membaca do’a Iftitah.
  3. Membaca ta’awudz ketika memulai bacaan
  4. Membaca surat dari Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah pada dua raka’at awal.
  5. Meletakkan dua tangan pada lutut selama ruku’.
  6. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri selama berdiri.
  7. Mengarahkan pandangan mata ke tempat sujud selama shalat.
H. YANG MAKRUH DALAM SHALAT
  1. Memejamkan mata.
  2. Menguap.
  3. Menoleh tanpa keperluan.
  4. Meletakkan lengan dilantai ketika sujud.
  5. Banyak melakukan gerakan yang sia-sia, misalnya: bermain-main dengan jam (melihat jam, memperbaiki tali jam), memainkan baju, atau lainnya.
6.     Menahan buang air besar, kecil maupun kentut.


I. YANG MEMBATALKAN SHALAT

  1. Berbicara ketika shalat.
  2. Tertawa.
  3. Makan dan minum.
  4. Berjalan terlalu banyak tanpa ada keperluan.
  5. Tersingkapnya aurat.
  6. Memalingkan badan dari kiblat.
  7. Menambah rukuk, sujud, berdiri atau duduk secara sengaja.
  8. Mendahului imam dengan sengaja.






Senin, 25 Juli 2011

Pedoman Shalat I

PEDOMAN SHALAT

I.                      PENDAHULUAN


A. SEJARAH SINGKAT PENULISAN DAN 
     PEMBUKUAN HADITS
           
            Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur dengan penulisan Al-Qur’an. Pada masa itu, disamping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pelarangan penulisan hadits ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
1.Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya, dan ceritakan dariku, tidak ada keberatan (kamu ceritakan apa yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Muslim)
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya antara lain hadits yang disabdakan pada ‘amulfath (tahun. VIII H) yang berbunyi: “Tulislah untuk Abu Syah
Demikian pula dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengizinkan menuliskan hadits.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah Agama Islam tersiar di daerah-daerah yang makin luas dan para sahabat terpencar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau menginstruksikan kepada para Gubernur agar menghimpun dan menulis hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Instruksi beliau mengenai penulisan hadits ini antara lain ditujukan kepada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Madinah.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm tidak lagi meneruskan penulisan hadits ini karena setelah khalifah wafat, dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur.
Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.
Penulisan dan pembukuan hadits Nabi ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab Al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

B. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG MENGAMALKAN HADITS DHAIF/LEMAH
                Suatu hadits dikatakan dhaif apabila hadits tersebut sanadnya terputus atau ada cacat/cela pada perawinya, seperti: berbuat dusta, tersangka dusta (baik sangkaan itu dalam bidang meriwayatkan hadits atau lainnya), sering melakukan kesalahan, sering keliru, sering lengah, sering melakukan perbuatan maksiat, salah sangka, bertentangan dengan perawi yang lain yang lebih baik, jelek hafalannya, dll.
Ulama-ulama hadits telah sepakat bahwa kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang hukum/menentukan hukum sesuatu. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang mempergunakannya dalam bidang:
1.  Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal)
Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar.
2.  At-Targhiib (Memotivasi)
Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
3.  At-Tarhiib (Menakuti)
Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
4.  Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh
5.  Do’a Dan Dzikir
Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.

Menurut Al-Bukhari, Muslim, Abu Bakar Ibnul ‘Araby, Ibnu Hazm dan segenap pengikut Dawud Adz-Dzahiry: kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang apapun juga walaupun untuk menerangkan fadha ‘ilul a’mal, supaya orang tidak mengatas namakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, perkataan/perbuatan yang tidak disabdakan/diperbuat oleh beliau, dan supaya orang tidak mengi’tiqatkan sunnahnya sesuatu yang sebenarnya tidak dikerjakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau belum tentu dikerjakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang membawa akibat kita diancam oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam neraka karena berdusta atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau:
2.Barangsiapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan pendusta.” (HR. Muslim)
3.Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Abu Syammah berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menyebutkan suatu hadits dhaif melainkan ia wajib menerangkan kelemahannya. [Lihat al-Baits ‘ala Inkari Bida’ wal Hawadits (hal. 54) dan Tamaamul Minnah fiit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 32-33.]
Sedangkan menurut imam An-Nawawi dan sebagian ulama hadits dan para fuqaha: kita boleh mempergunakan hadits yang dhaif untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
Menurut Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’, bahwa Ibnu Hajar memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib dengan tiga syarat berikut:
1.  Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.
2.  Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar.
3.  Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarat yang kedua dan ketiga tersebut di atas sangat ditekankan dan ditegaskan oleh Ibnu Salam, sedangkan syarat yang pertama disetujui oleh semua ulama.
Imam Ahmad berkata: “Hadits dhaif itu lebih baik dari qiyas.” Yang dimaksud oleh Imam Ahmad dengan hadits dhaif tersebut adalah hadits yang setingkat dengan hadits hasan, karena pada masa Imam Ahmad belum ada pembagian hadits menjadi tiga kelompok, yaitu shahih, hasan dan dhaif. Yang ada baru pembagian hadits atas dua kelompok, yaitu shahih dan dhaif saja.
Pembagian hadits dari dua kelompok saja (hadits shahih dan hadits dhaif) menjadi tiga kelompok (hadits shahih, hadits hasan dan hadits dhaif) dilakukan oleh Imam At-Tirmidzi dan kemudian diikuti oleh ulama-ulama berikutnya, dimana hadits dhaif yang tidak seberapa kelemahannya dikelompokkan sebagai hadits hasan.

C. PERNYATAAN PARA IMAM MADZHAB UNTUK 
        MENGIKUTI SUNNAH DAN  MENINGGALKAN 
      YANG MENYALAHI SUNNAH
1. Imam Abu Hanifah rahimahullah (Imam Hanafi)
Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu kewajiban berpegang teguh pada Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan meninggalkan sikap taqlid/membeo pendapat-pendapat para imam bila bertentangan dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ucapan beliau:
4. Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.”[Ibnu Abidin dalam Kitab Al-Hasyiah 1/63 dan Kitab Rasmul Mufti 1/4 dari kumpulan tulisan Ibnu Abidin. Juga oleh Syaikh Shalih Al-Filani dalam Kitab Iqazhu Al-Humam hlm. 62 dan lain-lain. Ibnu Abidin menukil dari Syarah Al-Hidayah, karya Ibnu Syahnah Al-Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang berbunyi:
            “Bila suatu Hadits shahih sedangkan isinya bertentangan dengan madzhab kita, yang diamalkan adalah Hadits. Hal ini merupakan madzhab beliau dan tidak boleh seorang muqallid menyalahi Hadits shahih dengan alasan dia sebagai pengikut Hanafi, sebab secara sah disebutkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan: “Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.” Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari Abu Hanifah dan para imam lain pesan semacam itu]
5.Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya.”
            [Ibnu ‘Abdul Barr dalam Kitab Al-Intiqa fi Dadhail Ats-Tsalasah Al-Aimmah Al Fuqaha hlm. 145, Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in II/309, Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyah Al-Bahri Ar-Raiq VI/293, dan Rasmu Al-Mufti hlm. 29 dan 32, Sya’rani dalam Al-Mizan I/55 dengan riwayat kedua, sedang riwayat ketiga diriwayatkan Abbas Ad-Darawi dalam At-Tarikh, karya Ibnu Ma’in VI/77/1 dengan sanad shahih dari Zufar. Semakna dengan itu diriwayatkan dari beberapa orang sahabatnya, yaitu: Zufar, Abu Yusuf, dan Afiyah bin Yazid, seperti termaktub dalam Al-Iqazh hlm. 52. Ibnul Qayyim menegaskan shahihnya riwayat ini dari Abu Yusuf II/344 dan memberi keterangan tambahan dalam Ta’liqnya terhadap Kitab Al-Iqazh hlm. 65, dikutip dari Ibnu ‘Abdul Barr, Ibnul Qayyim dan lain-lain]
6.Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu.”
[Al-Filani dalam Kitab Al-Iqazh hlm. 50, menisbatkan kepada Imam Muhammad juga, kemudian ujarnya: “Hal semacam ini dan lain-lainnya yang serupa bukanlah merupakan sifat mujtahid, sebab dia tidak mendasarkan hal itu pada pendapat mereka, bahkan hal semacam ini merupakan sifat muqallid.”]

2. Imam Malik bin Anas (Imam Maliki)
Imam Malik bin Anas menyatakan:
7.Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah.”
[Ibnu ‘Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam Kitabnya Ushul Al-Ahkam VI/149, begitu pula Al-Fulani hlm. 72]
8.Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.”
            [Di kalangan ulama mutaakhir hal ini populer dinisbatkan kepada Imam Malik dan dinyatakan shahihnya oleh Ibnu ‘Abdul Hadi dalam Kitabnya Irsyad As-Salik I/127. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdul Barr dalam Kitab Al-Jami’ II/291, Ibnu Hazm dalam Kitab Ushul Al-Ahkam VI/145, 179, dari ucapan Hakam bin Utaibah dan Mujahid. Taqiyuddin Subuki menyebutkannya dalam Kitab Al-Fatawa I/148 dari ucapan Ibnu ‘Abbas. Karena ia merasa takjub atas kebaikan pernyataan itu, ia berkata:
            “Ucapan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu ‘Abbas, kemudian Malik mengambil ucapan kedua orang itu, lalu orang-orang mengenalnya sebagai ucapan beliau sendiri.”]
9.Ibnu Wahhab berkata: “Saya pernah mendengar Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki di dalam wudhu, jawabnya: ‘Hal itu bukan urusan manusia.’” Ibnu Wahhab berkata: “Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya: ‘Kita mempunyai Hadits mengenai hal tersebut.’ Dia bertanya: ‘Bagaimana Hadits itu?’ Saya jawab: ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, ‘Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dan Yazid bin ‘Amr Al-Mu’afiri, dari Abi ‘Abdurrahman Al-Habali, dari Mustaurid bin Syaddad Al-Qurasyiyyi, ujarnya: Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya.’ Malik menyahut: ‘Hadits ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini.’ Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu menyela-nyela jari-jari kakinya.”
[Muqaddimah Kitab Al-Jarh Wa At-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hlm. 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunan-nya I/81]

3. Imam Syafi’i

Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam Syafi'i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus [Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya VI/118:
"Para ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi'i. Beliau dengan keras menegaskan agar orang mengikuti Hadits-Hadits yang shahih dan berpegang pada ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga Allah memberi manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatkan kebaikan yang banyak."] dan pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung.
            Beliau berpesan antara lain.
10. "Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku." [HR. Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi'i seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu 'Asakir XV/1/3, I'lam Al-Muwaqqi'in II/363-364, Al-Iqazh hlm. 100]
11. "Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu Hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang" [Ibnul Qayyim II/361, dan Al-Filani hlm. 68]
12. "Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu" [Harawi dalam kitab Dzamm Al-Kalam III/47/1, Al-Khathib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi'i VIII/2, Ibnu Asakir XV/9/1, Nawawi dalam Al-Majmu' I/63, Ibnul Qayyim II/361, Al-Filani hlm. 100 dan riwayat lain oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/107 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya III/284, Al-Ihsan dengan sanad yang shahih dari beliau, riwayat semakna]
13. "Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku" [Nawawi, dalam Al-Majmu', Sya'rani I/57 dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hlm. 107. Sya'rani berkata: "Ibnu Hazm menyatakan Haditst ini shahih menurut penilaiannya dan penilaian imam-imam yang lain."]
14. "Kalian lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya."
[Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi'i hlm. 94-95, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/106, Al-Khatib dalam Al-Ihtijaj VIII/1, diriwayatkan pula oleh Ibnu 'Asakir dari beliau XV/9/1, Ibnu 'Abdil Barr dalam Intiqa hlm. 75, Ibnu Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hlm. 499, Al-Harawi II/47/2 dengan tiga sanad, dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi'i pernah berkata kepadanya: "..... Hal ini shahih dari beliau. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim menegaskan penisbatannya kepada Imam Ahmad dalam Al-I'lam II/325 dan Fulani dalam Al-Iqazh hlm. 152." Selanjutnya, beliau berkata: "Baihaqi berkata: 'Oleh karena itu, Imam Syafi'i banyak mengikuti Hadits. Beliau mengambil ilmu dari ulama Hijaz, Syam, Yaman, dan Iraq'. Beliau mengambil semua Hadits yang shahih menurut penilaiannya tanpa pilih kasih dan tidak bersikap memihak kepada madzhab yang tengah digandrungi oleh penduduk negerinya, sekalipun kebenaran yang dipegangnya menyalahi orang lain. Padahal ada ulama-ulama sebelumnya yang hanya membatasi diri pada madzhab yang dikenal di negerinya tanpa mau berijtihad untuk mengetahui kebenaran pendapat yang bertentangan dengan dirinya." Semoga Allah mengampuni kami dan mereka."]
15. "Bila suatu masalah ada Haditsnya yang sah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati." [Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/107, Al-Harawi 47/1, Ibnul Qayyim dalam Al-I'lam II/363 dan Al-Filani hlm. 104]
16. "Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna." [Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi'i hlm. 93, Abul Qasim Samarqandi dalam Al-Amali seperti pada Al-Muntaqa, karya Abu Hafs Al-Muaddib I/234, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/106, dan Ibnu Asakir 15/10/1 dengan sanad shahih]
17. "Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku." [Ibnu Abi Hatim hlm. 93, Abu Nu'aim dan Ibnu 'Asakir 15/9/2 dengan sanad shahih]
18. "Setiap Hadits yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku." [Ibnu Abi Hatim, hal. 93-94]

4. Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali)

Ahmad bin Hambal merupakan seorang iman yang paling banyak menghimpun Haditsts dan berpegang teguh padanya., sehingga beliau benci menjamah koitab-kitab yang memuat masalah furu’ dan ra’yu [Ibnu Jauzi dalam Al-Manaqib hlm. 192 ]
Beliau menyatakan sebagai berikut :
19.Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.” [Al- Filani hlm. 113 dan Ibnul Qayyim dalam Al-I’lam II/302]
Pada riwayat lain disebutkan:
20.Janganlah kamu taqlid kepada siapa pun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima).” Kali lain dia berkata: “Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang daripara tabi’in boleh di pilih.” [Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad hlm. 276-277].
21.Pendapat Auza’i, Malik, dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada Atsar (Hadits).” [Ibnu Abdul Barr dalam Al-Jami’ II/149]
22.Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran.” [Ibnu Jauzi hlm. 142]


D. WAJIBKAH TERIKAT PADA SATU MADZHAB 
      SAJA?

1. Pendapat Mayoritas Ulama Ushul: Tidak Wajib Berpegang Pada Satu Madzhab Saja

            Mereka mengatakan bahwa sorang muslim tidak diwajibkan untuk berpegang kepada satu imam saja dalam semua masalah dan kejadian dalam kaitannya dengan hukum syariah. Tetapi bila dia ingin bertaqlid kepada hanya salah satu di antara mujtahid / madzhab itu, dibolehkan.
            Menurut mereka seseorang dibenarkan untuk bermadzhab dengan madzhab tertentu seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyyah, Al-Hanabilah dan madzhab fiqih lainnya. Tetapi tidak berarti dia harus terpaku secara terus menerus pada pendapat dalam madzhab itu saja.
            Hal ini karena memang tidak ada perintah dari Allah maupun Rasul-Nya yang mewajibkan untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang telah diberikan ulama. Yang ada justru perintah untuk bertanya kepada ahli ilmu secara umum, yaitu mereka yang memang memiliki kemampuan pemahaman syariat Islam, tetapi tidak harus terpaku pada satu orang atau madzhab saja.
            Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
23.Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
24.Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya`: 7)
            Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu dan juga para tabi`in pun tidak terpaku pada satu pendapat saja dari ulama mereka. Mereka akan bertanya kepada siapa saja yang memang layak untuk memberi fatwa dan memiliki ilmu tentang hal tersebut.
            Maka tidaklah pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak boleh berpindah madzhab.
            Bahkan pada hakikatnya, setiap madzhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga. Lihatlah bagaimana dahulu Al-Imam Asy-Syafi’i merevisi madzhab qadimnya dengan madzhab jadid.
            Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang masih menggantungkan pendapat kepada masukan dari orang lain. Misalnya ungkapan paling masyhur dari mereka adalah: “Apabila suatu hadits itu shahih, maka menjadi madzhabku.” Itu berarti seorang imam bisa saja tawaqquf (belum berpendapat) atau memberikan peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat. Maka perubahan pendapat dalam madzhab itu sangat mungkin terjadi.
            Bila di dalam sebuah madzhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.

2. Pendapat Yang Mewajibkan Berpegang Pada Satu Madzhab Saja

            Meski demikian, kita juga tidak mengingkari adanya pendapat sebagian dari ulama ushul yang mewajibkan seseorang untuk berpegang kepada satu madzhab saja.
Dalilnya adalah bahwa seseorang wajib mengikuti apa yang menurutnya lebih rajih atau lebih mendekati kebenaran. Dan bila seseorang sudah yakin bahwa madzhab yang dianutnya itu yang paling rajih, maka tidak boleh baginya mencari pendapat di luar madzhabnya.
Untuk argumentasi mereka ini, kita bisa menjawab bahwa tidak ada kewajiban bagi kita untuk harus selalu mengambil pendapat yang rajih. Terkadang untuk suatu kondisi darurat tertentu, kita masih dibolehkan untuk mengambil pendapat yang tidak rajih.
Dan mengenai kebolehan mengambil yang marjuh (mafdhul) dan meninggalkan yang rajih (afdhal), ada beberapa ketetapan para ulama ushul, antara lain:
25. Al-Qadhi Atha’ bin Hamzah berkata, “Seorang qadhi boleh berpindah keluar madzhabnya oleh sebab darurat.”
26. As-Shahkafi dalam Nash Ad-Dur Al-Mukhtar, “Seorang qadhi dibolehkan mengerjakan amal yang kurang masyhur dalam madzhabnya bila Sultan menetapkan hal itu.”
27. Al-Mi’raj ‘An Fakhril Ummah: “Kebolehan amal dan fatwa dengan perkataan yang dhaif dalam keadaan darurat.”
28. Ad-Dasuqi al-Maliki berkata, “Dibolehkan beramal dengan yang dhaif bagi seseorang untuk masalah dirinya atau juga dalam fatwa bila dipastikan adanya kedaruratan oleh mufti itu.

E. PANDANGAN AL-QUR’AN DAN HADITS   
     TENTANG  PERBEDAAN PENDAPAT

1. Ketidak-Utamaan Perbedaan Pendapat
29. "Janganlah kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu." (QS. Al-Anfal: 46)
30. "Janganlah kamu seperti orang-orang yang musyrik, yaitu mereka mencerai-beraikan agamanya dan bergolong-golongan. Dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (QS. Ar-Rum: 31-32)
31. "Mereka terus-menerus berselisih kecuali orang yang mendapatkan rahmat dari Tuhannya." (QS. Hud: 118-119)
32. "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al-An’am: 153)

2. Mencari Jalan Keluar Apabila Terjadi Perbedaan Pendapat
33. "Jika kamu berselisih pendapat maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa’: 59)
34.Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: “Di kalangan orang-orang terdahulu ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 orang, lalu dia mencari orang yang banyak ilmunya, kemudian dia ditunjukkan kepada seorang rahib, lalu dia mendatanginya, kemudian dia katakan bahwa dia telah membunuh 99 orang, apakah tobatnya bisa diterima? Rahib itu menjawab, Tidak bisa.” Laki-laki itu membunuh rahib tersebut, sehingga genaplah 100 orang yang telah dibunuhnya. Kemudian laki-laki itu mencari orang lain lagi yang paling banyak ilmunya, lalu dia ditunjukkan kepada seorang yang alim (berilmu), kemudian dia mengatakan bahwa dia telah membunuh 100 orang, apakah tobatnya bisa diterima? Orang alim itu menjawab, “Bisa. Tidak ada penghalang antara kamu dengan tobatmu. Pergilah ke daerah begini dan begini, karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, lalu beribadahlah kepada Allah Azza wa Jalla bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke daerahmu, karena daerahmu memang jelek.” Laki-laki itu pergi. Sesampainya di tengah perjalanan dia mati, maka malaikat Rahmat berbantahan dengan Malaikat Adzab. Kata malaikat Rahmat, “Orang ini pergi untuk bertobat dengan menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati.” Kata malaikat Adzab, “Orang ini tidak berbuat kebaikan sama sekali.” Kemudian mereka didatangi oleh satu malaikat lain dalam wujud manusia, lalu mereka meminta keputusan kepadanya. Kata dia, “Ukurlah jarak yang terdekat dengan orang yang mati ini dari tempat berangkatnya dan dari tempat tujuannya. Ke mana yang lebih dekat maka itulah keputusannya.” Ternyata hasil pengukuran mereka adalah bahwa orang yang mati tersebut lebih dekat ke tempat tujuannya, maka dia dalam genggaman malaikat Rahmat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas menjelaskan kepada kita bahwa:
1.     Para malaikatpun tidak terlepas dari perbedaan pendapat.
2.    Perbedaan pendapat tidak dibiarkan berlangsung terus tanpa penyelesaian.
3.    Perbedaan pendapat diselesaikan dengan mengambil cara/pendapat yang terbaik/ter-shahih.